Selasa, 09 Agustus 2016

Revitalisasi Pendidikan Pondok Pesantren






 (Refleksi Milad PP. Nurul Hidayah Bengkalis)

Pondok pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang memiliki peran utama dalam memilihara turats-turats Islam dan mentransformasikan ilmu-ilmu keislaman kepada peseerta didiknya dalam rangka melahirkan ulama atau intelektual muda Islam.

Keberadaan para ulama dan intelektual Islam dalam masyarakat Islam khususnya orang-orang Melayu memiliki arti yang cukup signifikan. Mereka menjadi rujukan bagi masyarakat untuk dimintai pendapat baik mengenai masalah-masalah keagamaan maupun masalah-masalah pribadi dan sosial kemasyarakatan lainnya. Realitas sosial ini membuat para ulama dan intektual Islam dipandang sebagai tokoh masyarakat atau pemimpin yang dihormati. Tidak berlebihan bila dikatakan harkat dan martabat mereka dipandang berada di atas para pemimpin formal.

Dalam sejarah politik Melayu abad XIII-XVI M, tercatat bahwa para ulama memiliki otoritas dan menempati posisi penting serta menentukan dalam struktur pemerintahan Kesultanan Melayu. Ulama-ulama terkemuka menjabat sebagai mufti atau qadhi kerajaan yang ketika itu merupakan jabatan yang melekat dan bersinergi dengan kekuasaan otoritas politik Melayu (Azyumardi Azra: 1999, 25).

Ulama adalah penasehat penguasa (sultan) baik dalam masalah hukum Islam maupun masalah sosial lainnya. Dan tidak jarang para penguasa meminta pertimbangan para ulama dalam rangka merumuskan dan menetapkan kebijakan pemerintahan. Suara dan fatwa ulama sangat didengar oleh para penguasa. Sinergisitas ulama dan penguasa ini membuat Islam menjadi ciri dan indentitas politik bagi kerajaan Melayu kala itu.

Dewasa ini jumlah dan peran ulama memperlihatkan keadaan yang cukup jauh menurun. Ulama yang menjalankan fungsi ganda seperti masa lalu hampir tidak ada lagi. Ulama yang berkompeten dan kharismatik sedikit sekali dijumpai dalam masyarakat. Fungsi dan peranan ulama di tengah-tengah masyarakat mengalami penurunan yang drastis.

Dengan demikian bisa dikatakan, saat ini masyarakat Islam mengalami kondisi terjadinya kelangkaan para ulama. Keadaan ini disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Rendahnya minat masyarakat untuk belajar ilmu agama; Seiring dengan perjalanan waktu dan perkembangan zaman telah terjadi perubahan sudut pandang masyarakat Islam dalam melihat dunia dan kehidupan mereka. Masyarakat hari ini memiliki kecenderungan semakin materialis dan pragmatis. Keadaan ini baik langsung maupun tidak mengakibatkan kesadaran beragama mereka semakin menurun. Akibatnya minat masyarakat untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan Islam yang mencetak para ulama semakin berkurang pula.

Mayoritas mereka lebih senang untuk menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah umum karena mereka beranggapan sekolah umum lebih menjanjikan bagi masa depan anak-anak mereka ketimbang sekolah agama (madrasah). Sekolah agama acap kali menjadi pilihan kedua.

Berbeda dengan keadaan masyarakat dahulu dimana mereka lebih memilih sekolah agama ketimbang sekolah umum. Kenyataan ini ikut memberikan kontribusi bagi kelangkaan ulama di tengah-tengah masyarakat.

(2) Penurunan kuantitas dan kualitas Lembaga Pendidikan Islam; rendahnya minat masyarakat terhadap agama ikut berpengaruh terhadap eksistensi lembaga pendidikan Islam. Harus diakui dari sisi kuantitas, jumlah santri atau siswa pendidikan madrasah (pesantren) telah mengalami penurunan. Sementara dari sisi kualitas bisa dikategorikan masih belum memenuhi standar yang diharapkan. Keadaan ini ikut dipengaruhi oleh faktor input pendidikan di mana anak-anak yang disekolahkan ke madrasah (pesantren) sebagian besar mereka hanya memiliki kemampuan di bawah rata-rata dan ada juga anak-anak yang bermasalah dari segi prilaku dalam kehidupan keluarga. Akibatnya alumni madrasah (pesantren) tidak siap secara intelektual ataupun moral untuk melanjutkan tongkat estafet kepemimpinan ulama.

Dari segi proses pendidikan, madrasah (pesantren) menyisakan sedikit permasalahan. Perubahan sistem dan pola pendidikan ikut mempengaruhi kualitas alumni. Penyesuaian kurikulum dengan tuntutan modernitas mengakibatkan orientasi belajar para siswa (santri) madrasah menjadi terbagi. Akhirnya penguasaan ilmu-ilmu keislaman kelihatannya kurang maksimal karena pada waktu bersamaan mereka dituntut juga menguasai ilmu-ilmu umum.

Di samping itu, pola pendidikan juga ikut disesuaikan dengan kebutuhan manusia modern. Nilai-nilai kedisiplinan belajar, kesederhanaan, keikhlasan dan keteladanan yang merupakan ciri khas pendidikan Islam tradisonal sudah semakin berkurang. Akibatnya secara mental alumni madrasah (pesantren) juga tidak siap menjalankan peran sebagai ulama.

(3) Sekulerisme Sistem Politik; sistem politik yang sekuler ikut mereduksi fungsi dan peran para ulama. Karena agama dianggap merupakan subordinasi dari sistem pemerintahan yang berjalan. Akibatnya otoritas agama tidak dianggap sebagai bagian atau unsur yang signifikan dalam tata kelola pemerintahan. Para penguasa dalam merumuskan kebijakan hanya mengacu pada sistem perundang-undangan dan aturan hukum yang berlaku sedangkan pertimbangan keagamaan tidak terlalu mengikat. Tapi anehnya ketika terjadi kasus-kasus yang berhubungan dengan masalah-masalah keagamaan terjadi di masyarakat mereka butuh dukungan dan bantuan ulama untuk menyelesaikannya. Inilah sikap ambivalensi pemerintah yang nyata.

Situasi politik yang tidak kondusif seperti ini menyebabkan para ulama tidak memiliki ruang dan pentas untuk menjalankan peran dan fungsinya secara maksimal. Bagi yang kuat, mereka akan tetap bertahan melaksanakan perannya melalui pendekatan kultural, sebaliknya bagi yang tidak mereka tidak akan bisa berbuat secara maksimal karena memiliki berbagai keterbatasan atau barangkali ada pula yang terjun ke dunia politik praktis. Bila ini yang terjadi, hampir bisa dipastikan kaderisasi ulama di masyarakat akan terhenti dengan sendirinya.

Menyikapi situasi yang memprihatinkan ini, sudah sepantasnya seluruh komponen masyarakat dan pemerintah muslim untuk melakukan revitalisasi terhadap pendidikan pesatren agar eksistensi para ulama dan intelektual Islam tetap berlanjut di tengah-tengah masyarakat dan kelangkaan mereka bisa teratasi. Pemerintah dan masyarakat harus berusaha membangun atau menguatkan kembali keberadaan institusi pendidikan pencetak ulama terseut, mengampanyekan pentingnya peran ulama serta memberikan dukungan dan fasilitas (ruang) bagi para ulama agar mereka bisa menjalankan peran mereka dengan sebaik-baiknya.

Upaya ini harus mendapatkan perhatian serius bagi pemerintah ataupun masyarakat luas karena kekosongan ulama di tengah-tengah masyarakat akan berpotensi mengakibatkan terjadinya berbagai macam penyimpangan prilaku di kalangan masyarakat karena kebutuhan akan agama adalah fitrah manusia. Kekuatan agama akan mampu menjadi filter (penyaring) atau tameng (benteng) bagi manusia dari berbagai tindak asusila dan kejahatan. Ketika nilai-nilai spiritual keagamaan itu sudah rapuh dalam diri seorang, maka potensi mereka untuk berbuat keburukan semakin terbuka lebar. Wallah Alam**

Oleh: Amrizal Isa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar