Minggu, 10 Juli 2016

::: Waspadai, Muslim Munafik ! >> Mengaku Muslim, Tapi Membenci Apapun Tentang Islam ! :::

Dari Abdullah bin Amru bin ‘Ash RA, bersabda Rasulullah SAW, : " ada empat perkara yang bila terdapat pada diri seorang maka ia munafik tulen. Dan bila yang ada pada seseorang salah satu dari empat itu, berarti pada dirinya ada sifat munafik, sampai ia memisahkan diri darinya; jika berkata- kata ia berdusta, jika berjanji ia berkhianat, jika bersumpah ia ingkar, jika bertengkar ia curang. (H.R. Bukhori dan Muslim)

Kemunafikan ibarat musuh dalam selimut. Jika kita mau menelaah lembaran-lembaran sirah Nabawiyah, kita akan menemui banyak percontohan dari sifat munafiq ini.

Tidak hanya ketika dalam kondisi berat, dalam kondisi lapang pun mereka tak jarang memunculkan wajah asli mereka. Wajah yang kerap kali ditutupi dengan topeng yang indah. Ciri khas mereka, bermuka manis di depan, menatap bengis bila telah berlalu dari hadapan.

Ulama’ telah mendefinisikan dengan jelas tentang pengertian munafiq itu sendiri. Dalam syarh hadits ini di Kitab Jami’ Ulum wal Hikam dijelaskan bahwa makna Nifaq secara bahasa adalah, penipuan, makar dan penampakan kebaikan serta menyembunyikan hal yang bertentangan dengannya (keburukan). Hasan Al-Bashri ra mengatakan, “Nifaq adalah bedanya yang nampak dan yang tersembunyi, yang dikatakan dan amalannya, yang di dalam dan yang di luar."

Menurut istilah syar’I, munafiq dibagi menjadi dua kriteria. Yang sering kali kita tidak memahaminya dengan baik. Bahkan, orang yang dianggap paham dalam ilmu agama pun tak jarang salah dalam mendefinisikannya. Pembagian yang disebutkan oleh jumhur ulama’ adalah;

1. Nifaq Akbar

Kemunafikan jenis inilah yang berbahaya dan fatal akibatnya. Pun, jenis ini yang menjangkiti Abdullah bin Ubay bin Salul. Indikasi terjangkit penyakit ini adalah secara dhohir orang ini menampakkan keimanannya.

Bahkan, dalam suatu riwayat diceritakan, orang munafik di zaman Nabi dahulu memiliki dahi yang lebih hitam dari pada muslimin lainnya, seakan mereka betul-betul kuat keimanannya. Akan tetapi, dalam hatinya yang ada hanyalah kebusukan dan kedengkian yang mendalam terhadap keberhasilan dan kejayaan Islam. Sampai-sampai, yang sudah mencapai tingkatan akut; mereka menyembunyikan kekufurannya akan ajaran Islam.

Maka, bagi mereka ancaman dan celaan dalam Al-Qur’an. Balasan yang dijanjikan bagi mereka adalah neraka di tingkatan yang paling bawah. Sebagaimana firman Allah,

“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah dari neraka. dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi mereka.” (An-Nisa: 145)
Bahkan, jumhur ulama’ berpendapat bahwa siksaan orang munafik tingkat ini lebih pedih jika dibandingkan dengan orang kafir dikarenakan lebih besar istihza’nya terhadap Islam (Fathul Bari: 12/496).

2. Nifaq Ashghor

Kemunafikan ini kerap juga disebut sebagai nifaq ‘amali, alias kemunafikan yang tidak mengkafirkan. Tetapi, orang yang menyandang ciri-cirinya maka dia sudah dalam proses menuju predikat Nifaq Akbar dan dianggap melakukan dosa besar atas kemunafikannya.

Seperti apa ciri-cirinya? Imam Abu Isa At-Tirmidzi R.A. menjelaskan, “Indikasi yang tercantum dalam hadits ini (hadits di atas) adalah kemunafikan ‘Amaly.” Sebagaimana juga disetujui oleh Imam Nawawi dan Al-Qurthubi.

Jadi, sebagaimana yang diterangkan olehnya, dalam hadits di atas disebutkan 4 cirinya. Sedang dalam hadits lain juga disebutkan beberapa ciri yang lain. Seperti yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim pada hadits yang lain,


عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاثٌ إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ وَإِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ

“Ciri orang munafik ada tiga; jika dia berkata berdusta, jika berjanji mengingkari, dan jika dipercaya berkhianat.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Pada prakteknya pembagian Nifaq secara syar’i ini menjadi rancu di kalangan awam. Kerap kali kita dapati seorang mubaligh yang menjelaskan tema munafik, menyitir hadits di atas –baik yang mencantumkan 4 ciri munafik maupun yang 3-.

Lalu dalam keterangannya pula, dikatakan bahwa orang yang memiliki ciri-ciri orang munafik seperti itu, balasannya adalah sebagaimana tercantum pada surat An-Nisa’: 14. Padahal ayat tersebut menerangkan balasan bagi orang munafik pada tingkatan nifaq akbar.

Hal ini kerap terjadi dalam realita keseharian kita. Entah mungkin karena ingin menambah unsur tarhib agar objek dakwah bertambah ngeri dengan kata munafik, atau karena berbagai alasan lainnya. Akan tetapi, apapun alasannya hal ini merupakan hal yang salah walau bertujuan untuk kebaikan. Cara seperti ini layaknya kita jauhi, bagaimana mungkin dakwah akan menghasilkan sesuatu yang baik, jika hal itu tidak dilakukan dengan cara yang baik pula.

Indikasi Kemunafikan Ashghor

Pemaparan para ulama’ yang berhubungan dengan kemunafikan ini amatlah banyak, baik yang disandarkan pada hadits-hadits Nabawiyah, maupun yang di sandarkan pada dalil Al-Qur’an. Termasuk di dalamnya adalah 2 hadits riwayat Bukhori dan Muslim di atas.

Mengenai pihak yang mengatakan bahwa dua hadits ini bertentangan, atau tidak bersesuaian, karena perbedaan jumlah ciri-ciri yang disebutkan, maka Al-Qurthubi menjawabnya dengan jawaban yang sangat baik, “Sesungguhnya hal ini dikarenakan bertambahnya pengetahuan Rasul SAW atas apa yang sebelumnya tidak diketahuinya, ditambahkan pula oleh Ibnu Hajar, “tidak ada pertentangan dalam 2 hadits tersebut.” (Fathul Bari 1/54)

Mengenai dua hadits ini, Al-Hafidz Ibnu Rajab menyimpulkan 5 indikasi kemunafikan yang beliau tuangkan dalam Jami’ Ulum wal Hikam,

1. Mengabarkan sesuatu yang nampak benar dihadapan orang lain, padahal dia sedang menipu orang tersebut.

Hasan Al-Bashri berpendapat tentang hal ini, “Pondasi yang di atasnya dibangun sebuah kemunafikan adalah kebohongan.” (Sifatul Munafiq: 50)

2. Jika berjanji dia mengingkarinya

Hal ini menurut Ibnu Rajab, ada dua bentuk pengingkaran. Pertama, dia berjanji dan tidak ada niatan untuk memuhi janjinya itu tadi. Dan ini adalah seburuk-buruk pengingkaran. Sedang menurut Al-‘Auza’I, walaupun dia sebelumnya mengatakan insyaAllah tetapi niatannya mengingkari janji itu, maka sama saja, dia juga berbohong.

Kedua, seseorang berjanji tanpa niatan untuk mengingkarinya. Akan tetapi, ketika sampai pada waktuny untuk menepati janji tersebut, orang tadi menundanya dan tidak menepati janjinya tanpa ada udzur yang memperkanankan dia untuk mengingkari janjinya.

3. Jika bermusuhan dia berbuat curang.

Yang dimaksud curang di sini adalah menyimpang dari kebenaran dan dia mengetahui hal tersebut. Lalu menjadikan yang benar nampak salah, dan yang salah terlihat benar. Di sisi inilah nanti munculnya kebohongan itu. Hal ini juga yang menjadi alasan Imam Nawawi mengatakan bahwa pada hakekatnya “ إذا خاصم فجر” sama dengan “الكَذِبَ“.

Demikian pula Ibnu Rajab, beliau melandaskan pada hadits Rasulullah riwayat Bukhori dan Muslim dari Ibnu Mas’ud RA,


إيَّاكم والكَذِبَ ، فإنَّ الكَذِبَ يَهْدِيْ إِلَى الفُجُوْرِ ، وَإِنَّ الفُجُوْرَ يَهْدِيْ إِلى النَّارِ

“Janganlah kalian berbohong, karena sesungguhnya kebohongan itu akan menjurus kearah kefujuran dan kefujuran menjurus ke Neraka.”

4. Jika dia bersepakat melanggarnya.

Padahal Allah telah memerintahkan untuk menetapi kesepakatan, seperti tertuang dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’: 34,

“Dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan jawabnya.”

Dan menetapi kesepakatan ini juga berlaku bagi siapapun. Baik bagi orang mukmin maupun orang kafir. Sebagimana telah terjadi pada Perjanjian Hudaibiyah.

5. Jika diberi amanah, dia mengkhianatinya.

Padahal dalam syari’at diperintahkan, jikalau kita dipercayai oleh seseorang untuk mengemban sebuah amanah, maka kita harus melaksanakannya. Allah berfirman,

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya” (An-Nisa: 58)

Lalu Ibnu Rajab menutup kelima indikasi ini dengan mengembalikannya pada perkataan Hasan Al-Bashri, “Inilah lima point indikasi kemunafikan ‘amaly, pada dasarnya semua point ini kembali kepada apa yang dikatakan Hasan Al-Bashri, ‘Kemunafikan adalah adanya perbedaan antara yang tersembunyi dan yang nampak, antara yang di lisan dan yang diamalkan’.”

Padahal kalau kita mau jujur, hal-hal yang tersebut di atas seakan sudah menjadi bagian tak terlepaskan dari kehidupan kita. Artinya, kita kerap kali melakukan salah satu dari indikasi kemunafikan ini, yang artinya kita sedang membiasakan diri menjadi pribadi seorang munafik. Sedangkan Hudzaifah bin Yaman telah berpesan, “Sungguh kalian mudah untuk megatakan perkataan (yang mengarah kepada kemunafikan) sedangkan kami amatlah takut mengatakannya.”

Para sahabat sebagai contoh terbaik bagi kita sendiri juga amat menjauhi sifat-sifat munafik ini. Pernah suatu kala Umar bertanya kepada Hudzaifah bin Yaman mengenai pribadinya, Umar merasa takut kalau-kalau di dalam pribadinya ada indikasi yang menunjukkan kemunafikan.

Pada kala lain Umar memperingatkan para sahabat yang lainnya di atas mimbar, “Sesungguhnya yang paling aku takuti adalah seorang munafiq yang alim, yaitu orang yang berkata-kata dengan penuh hikmah, akan tetapi perilakunya menampakkan kemungkaran.”

Sedemikian khawatirnya para sahabat kalau dalam diri mereka terdapat indikasi yang mengarah kepada kemunafikan. Meskipun nifaq ‘amaly sendiri tidaklah menjadikan pelakunya kafir, akan tetapi pelakunya dihukumi seperti pelaku dosa besar. Dan dia bisa disebut muslim munafik. Tidakkah kita merasa khawatir seperti halnya para sahabat…? (Dikutip dari Majalah Annajah edisi 65 rubrik tafsir).



Sumber :
http://ift.tt/29w06yd


Tidak ada komentar:

Posting Komentar