Sabtu, 23 Desember 2017

::: 9 Alasan untuk Tidak Mengucapkan Selamat Natal :::

Setiap masuk Bulan Desember, polemik ucapan selamat Natal senantiasa terulang.

Memang, di bulan inilah hari raya umat Kristen itu jatuh. Biasanya, saat seorang mengucapkan selamat Natal, diikuti dengan ucapan selamat tahun baru Masehi. Seolah-olah, keduanya tergabung dalam satu paket ucapan.

Terkadang orang Islam masih bingung, antara ikut mengucapkan atau tidak. Orang Islam yang masih sadar akan prinsipnya, memang menghindari ucapan ini.

Tapi di sisi lain; baik karena tuntutan pekerjaan, ewuh dengan saudara atau teman, atau karena ikut-ikutan, orang Islam pun turut meramaikan.

Para ulama pun saling berbeda pendapat –ikut masuk dalam polemik—ini, antara yang membolehkan dan tidak. Terlepas dari hiruk pikuk polemik tersebut, setidaknya bagi seorang muslim yang masih memiliki prinsip Islam, ada beberapa alasan yang dapat dijadikan acuan untuk menolaknya. Antara lain adalah sebagai berikut:

Tidak ada contoh dari Nabi Muhammad saw dan generasi salafush shalih

Tidak dijumpai sebuah riwayat pun yang menerangkan bahwa Nabi saw dan kaum salaf pernah memberi ucapan selamat hari raya kepada umat di luar Islam. Umat Islam telah memposisikan Nabi saw sebagai uswah khasanah. Oleh karena itu, segala hal yang tidak diperbuat atau dicontohkan Nabi saw, tidak layak untuk dikerjakan.

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Muslim Nabi saw bersabda,

“Barang siapa mengerjakan sebuah perbuatan yang tidak aku perintahkan, maka nilainya adalah tertolak.” (HR. Muslim no. 1718)

Rasulullah saw bersabda, “Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia menjadi bagian dari mereka.”

Para ulama mengharamkan perbuatan ini

Syaikh ‘Utsaimin dalam Majmu’ Fatawa-nya nomor 404 pernah ditanya perihal ucapan selamat Natal kepada orang kafir Kristen. Beliau pun menjawab, “Mengucapkan selamat Natal atau mengucapkan selamat Hari raya yang terkait dengan orang kafir adalah sesuatu yang diharamkan menurut kesepakatan para ulama.” Pendapat beliau ini merujuk kepada pendapat Ibnul Qayyim Al Jauziyah, yang juga mengharamkan perbuatan ini dalam kitabnya, Ahkam Ahludz Dzimmah.

Kumpulan para ulama yang tergabung dalam Lajnah Daimah pun juga mengharamkan perbuatan ini. Pernah ditanyakan kepada mereka tentang boleh tidaknya ikut serta dalam perayaan orang Kristen, dalam hal ini perayaan Natal. Maka dijawab, “Kita tidak boleh bekerjasama dengan orang-orang Kristen dalam merayakan hari raya mereka, walaupun sebagian orang berilmu ikut melakukan hal semacam ini. Ini diharamkan karena dapat membuat mereka semakin bangga dengan memperbanyak jumlah mereka. Selain itu juga bentuk tolong menolong dalam perbuatan dosa.”

Para ulama empat madzhab pun; Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah bersepakat atas keharaman menghadiri perayaan hari raya orang kafir dan bertasyabuh (menyerupai) acara mereka. (Lihat kitab Iqtidlaus Shirat al Mustaqim milik Ibnu Taimiyah 2/425 dan Ahkaam Ahludz Dzimmah milik Ibnul Qayyim 2/227)

Memang, beberapa ulama ada yang membolehkan. Namun, kebolehan mereka sebenarnya memiliki prasyarat yang banyak dan sulit untuk dilaksanakan. Syarat yang kebanyakan dikemukakan adalah tidak menghadirkan hati ketika berucap selamat.

Pada kenyataannya, bagaimana bisa seseorang tidak menghadirkan hatinya ketika mengucapkan selamat. Padahal ketika ia ucapkan selamat, tentu saja ada kerelaan hati di dalam berucap. Bukankah hati itu rawan, mudah berbolak-balik, setan pun dapat turut serta di dalamnya.

Natal adalah budaya orang kafir

Islam menghormati adat budaya suatu kaum. Bahkan di dalam ushul fikih, adat dijadikan satu landasan pengambilan sebuah hukum. Namun ketika adat itu bertentangan dengan kaedah-kaedah pokok dalam Islam, maka hal itu tidak boleh dikerjakan.

Perayaan Natal bukan sekedar adat biasa, namun sudah masuk ranah pemahaman yang jauh berbeda dengan Islam. Di sini, umat Kristen meyakini bahwa Isa ‘alaihis salam sebagai Tuhan. Padahal, Islam sendiri meyakini bahwa Isa adalah Nabi, bukan Tuhan. Sungguh, pemahaman yang jauh berbeda.

Untuk itu, mengikuti budaya ini bukan hanya dilarang secara fikih karena bertentangan dengan prinsip Islam. Namun, sebuah bentuk keharaman karena sudah menyangkut ranah akidah Islam. Mengikuti budaya itu, dapat menjerumuskan seorang muslim kepada sebuah kekafiran.

Rasulullah saw sudah lama mengingatkan perihal ini,

“Barang siapa menyerupai (amalan) suatu kaum, maka ia tergolong ke dalam kaum tersebut.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Termasuk bentuk ridha terhadap agama orang kafir dan mempengaruhi kemurnian tauhid

Natal adalah sebuah perayaan besar umat Kristen, yang menunjukkan sebuah keyakinan akan ketuhanan Isa alaihis salam. Keyakinan ini jelas berbeda dengan prinsip dasar Islam. Oleh karena itu, mengucapkan Selamat Natal, secara tidak langsung meridhai perayaan yang menjadi prinsip mereka dan mencacati kemurnian tauhid.

Allah ta’ala telah ridha Islam menjadi agama bagi umat Muhammad, sebagaimana dalam firmannya surat Al Maidah ayat 3. Maka dari itu, bagaimana bisa kita ridha terhadap agama selain Islam, sedangkan Allah sendiri hanya ridha terhadap Islam sebagai agama kita.

Bentuk loyalitas yang salah

Dengan mengucapkan selamat kepada orang kafir, menunjukkan sifat baik yang salah. Bentuk-bentuk peribadahan orang kafir harus dijauhi, begitu pula sesembahan-sesembahan mereka. Contoh tegas dalam masalah ini sebagaimana yang dilakukan Nabi Ibrahim alaihis salam. Allah ta’ala berfirman

“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja….” (QS. Al Mumtahanah: 4)

Menjaga izzah sebagai orang Islam

Islam adalah ada yang mulia, tidak ada selain daripadanya. Islam itu tinggi, tidak ada yang lebih tinggi daripadanya. Rasulullah saw bersabda,

“Islam itu tinggi, selainnya tidak ada yang lebih tinggi.” (HR. Baihaqi dan dihasankan oleh Al Albani)

Allah ta’ala juga berfirman,

“Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS: Ali Imran: 139)

Ada yang beranggapan bahwa ucapan Selamat Natal hanya sebuah ucapan biasa, tidak mempengaruhi keyakinan. Padahal di sisi lain, ucapan yang diberikan kepada penganut Kristen itu justru menjadikan mereka berbangga diri. Selain itu dapat menumbuhkan keyakinan dalam diri mereka bahwa agama mereka itu benar, tidak salah. Padahal firman Allah ta’ala jelas, bahwa agama yang hak adalah Islam.

Dapat membesarkan syiar orang kafir

Hari raya adalah simbol bagi sebuah agama. Begitu pula perayaan Natal, merupakan simbol dari agama Kristen. Selain perayaan itu sendiri, syiar-syiar Kristiani juga banyak tersebar saat perayaan tersebut. Ketika Natal tiba, toko-toko yang notabene dimiliki oleh orang Kristen, berlomba-lomba untuk me-remark agar sesuai dengan suasana Natal. Tak jarang, simbol-simbol itupun dipakai oleh karyawan-karyawan muslim.



Dengan mengucapkan selamat hari raya, justru dapat menambah syiar-syiar yang telah mereka sebarkan. Syiar itu berpengaruh pada eksistensi sebuah agama. Ketika agama sudah tidak memiliki syiar-syiar yang disebarkan, eksistensinya seolah telah hilang. Tidak lagi berwibawa dan memiliki kekuatan. Maka dari itu, ucapan Selamat Natal kepada orang Kristen berarti menyebarkan syiar mereka dan menambah eksistensi mereka.

Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, “Barangsiapa yang melakukan sebagian dari hal ini (menyerupai orang kafir dalam hari raya mereka), maka dia berdosa. Meskipun ia melakukan hal itu lantaran beramah tamah dengan mereka, untuk mengikat persahabatan, karena malu atau sebab yang lain. Perbuatan ini adalah bentuk cari muka, sedangkan agama Allah jadi korbannya. Selain itu dapat menguatkan hati orang kafir dan semakin bangga dengan agama mereka.”

Ucapan selamat mengandung unsur doa dan cinta kepadanya

Perlu diketahui makna mendalam dari ucapan selamat. Para ahli bahasa bersepakat bahwa ucapan selamat (tahni’ah) adalah kebalikan dari ucapan duka cita (ta’ziyah). Imam Al Bajirami mengatakan, “Tahni’ah adalah lawan kata dari ta’ziyah, yang berarti doa kepada seseorang yang sedang bahagia. Sedangkan ta’ziyah adalah dorongan kepada seseorang untuk bersabar dengan mengingatkan pahala serta mendoakannya.”

Ibnul Haj Al Maliki berkata, “Ucapan selamat dan kabar gembira berlaku diantara manusia, yakni atas dasar kecintaan sesama mereka. Berbeda dengan ucapan salam, yang mana diperuntukkan kepada kaum muslimin seluruhnya.”

Dapat diambil kesimpulan, ucapan selamat menandakan cinta kasih kepada pelaku perbuatan. Sedangkan cinta kasih itu pada dasarnya menandakan keridhaan atas perbuatan itu. Padahal jelas, perayaan itu adalah bentuk ibadah umat Kristen. Pertanyaannya, apakah seorang muslim ridho dengan keyakinan ibadah orang kafir?

Menunjukkan sikap orang yang tidak berprinsip

Agama Islam sudah mengajarkan prinsip-prinsip yang harus ditaati. Prinsip yang dimiliki Islam, menandakan kewibawaan agama dan pemeluknya. Ketika satu prinsip itu dilanggar, wibawa dan harga dirinya tentu saja berguguran. Oleh sebab itu, tidak seharusnya seorang muslim melanggar batasan-batasan itu.

Ketika seorang mengucapkan Selamat Natal, berarti ia telah menerobos prinsip-prinsip keyakinan. Ia ragu bahwa perayaan orang Kristen itu salah dan tidak sesuai dengan prinsip Islam. Padahal telah jelas, amalan itu tidak diajarkan oleh Islam. Islam mengajarkan toleransi, namun tidak sekedar asal mengikuti.


Sembilan alasan di atas sebenarnya hanya menunjukkan sedikit alasan untuk tidak mengucapkan Selamat Natal. Selebihnya, setiap orang tentunya memiliki alasan tersendiri untuk tidak melakukannya. Tentunya, setiap muslim punya prinsip keislaman yang harus dipegangi. Ia seharusnya sadar, bahwa tindakan dosa dan salah itu menimbulkan rasa gundah dan ketidaknyamanan di dalam hati. Sebagaimana ucapan Nabi saw, “Dosa itu adalah, manakala membuat hatimu tidak tenang dan bergemuruh (terjadi kebimbangan) di dalam dadamu.” Dari sinilah ia dapat mengidentifikasi antara perbuatan yang sesuai Islam atau malah bertentangan dengannya.

Penulis: Abu Faris


Sumber : Kiblat





Tidak ada komentar:

Posting Komentar