Rabu, 15 April 2020

::: Amanda Oueslati (Muallaf Amerika - Misionaris) : "Menangis Saat Mendengar Al Qur'an.." :::

[Ilustrasi]
Meski tak Tahu, Amanda Menangis Saat Mendengar Ayat Alquran..
Dia masuk Islam ketika berusia 15 tahun.

Dia tidak tahu apa yang didengarkan, tapi begitu indah, sehingga membuatnya menangis. Nama lengkapnya Amanda Oueslati, tetapi beberapa orang memanggilnya dengan nama Noor. Dia masuk Islam ketika berusia 15 tahun.

"Sudah satu setengah dekade sejak saat itu, tetapi iman saya semakin bertambah kuat. Saya seorang istri dan ibu sekarang, dengan kehidupan terindah, alhamdulillah," katanya. Tak banyak yang mengetahui mengenai kisah hidupnya.



Banyak orang yang mengira Amanda merupakan Muslimah sejak lahir, seperti umat Islam kebanyakan. Amanda lahir di keluarga Angkatan Udara AS. Dia lama tinggal di Inggris. Wanita ini memiliki orang tua yang terbilang masih muda dan tidak cukup religius.

Hidupnya hanya dipenuhi kesenangan dan pesta. Bisa dibilang dia tumbuh besar di bar dan pub bersama ibunya, sehingga tak memiliki banyak teman sebaya. Awal dari perjalanan spiritualnya dimulai ketika dia hidup berpindah-pindah karena pekerjaan militer ayahnya. Dia pun berakhir di kota kecil di Alabama.

Di kota ini Amanda akhirnya mengenal dan meyakini Tuhan ada. Dia pun mulai pergi ke gereja bersama tetangga dan banyak beramal untuk tempat ibadahnya. "Saya bernyanyi dalam paduan suara, bergabung dengan tim pemuda, dan memulai pekerjaan misi," ujar dia.


Ketika itu, dia baru berusia 10 tahun, tetapi setiap Senin malam dia pergi bersama rekan satu timnya untuk menyebarkan kabar baik. Dia berbicara kepada orang asing, orang dewasa, remaja, anak-anak, tentang bagaimana mereka harus menerima ketuhanan versi Kristen di dalam hati mereka. Suatu hal yang aneh terjadi ketika itu. Semakin dia memberi tahu orang-orang, dia semakin merasa kosong.

"Saya mulai merasa seperti penipuan karena saya menyadari tidak percaya apa yang saya ceritakan kepada orang-orang. Saya memiliki pertanyaan yang tidak bisa dijawab oleh pemimpin gereja," katanya.

Contohnya, mengapa tradisi yang dianutnya mengatakan untuk tidak makan babi, tetapi justru memakan babi setiap Ahad atau mengapa wanita diajarkan menutupi rambut mereka, tetapi hanya para biarawati yang melakukannya.

Dia juga meragukan konsep ketuhanan yang baginya tidak masuk akal. Jadi, sedikit demi sedikit, dia mulai memberontak dan menolak untuk datang ke gereja. Ketika sedang mengalami kegalauan batin semacam ini, peristiwa 9-11 terjadi dan mengguncangnya, seperti banyak orang lain.

"Saya ingat bertanya-tanya tentang orang-orang yang melakukannya, tentang teroris Islam yang menjadi sorotan berita. Saya ingin mengenal mereka. Apa yang membuat mereka melakukan ini? Apa yang mereka percaya dan mengapa seseorang ingin menyebabkan begitu banyak kepedihan," ujarnya.

Tepat sebelum perang melawan terorisme dimulai, ayahnya pensiun dari militer dan pindah ke Florida. Dia memulai sekolah menengah sebagai seorang penyendiri. "Saya tidak tahu siapa saya, apa yang harus diyakini, atau apa yang diinginkan dari kehidupan. Jadi, saya simpan sendiri. Saya melihat seorang gadis di kafetaria suatu hari. Seorang gadis Muslim, mengenakan jilbab," katanya mengisahkan masa lalu.

Amanda kemudian berpikir bahwa gadis itu tampak begitu yakin pada dirinya sendiri. Dia pun bertanya-tanya bagaimana gadis ini begitu berani mengenakan jilbab itu di kepalanya saat di sekolah.

Bagaimana mungkin dia tidak peduli apa yang orang lain pikirkan tentangnya. Amanda akhirnya berteman dengan gadis yang bernama Fatiha itu. Darinya Amanda menemukan ibrah yang luar biasa. Fatiha adalah gadis yang terlahir sebagai Muslim dari keluarga Palestina.

Dia benar-benar memiliki segala pengetahuan tentang Islam. Dia tahu apa yang dia percaya dan mengapa. Dia kuat, berani, dan cantik. Amanda berharap dapat menjadi seperti wanita tersebut. Dia ingin mengetahui lebih dalam tentang keyakinan yang dimiliki Fatiha.

Keduanya mulai berbicara tentang agama sedikit demi sedikit dan Amanda mengajukan pertanyaan kepadanya tentang Islam. "Saya mulai membaca buku-buku dari perpustakaan tentang Islam dan mencari semua yang saya bisa di internet tentang Islam," ujarnya.

Suatu hari dia membawa compact disk (CD) dan menyuruh Amanda mendengarkannya ketika tiba di rumah. Amanda pikir ini CD musik pop Arab yang keren dari negaranya, tapi ternyata salah. Amanda tidak tahu apa yang dia dengar kan, yang dia tahu terdengar begitu indah.

Dia juga tidak mengerti kata yang diucapkan, tetapi untuk beberapa alasan itu membuatnya menangis. Setelah mendengarkan lantunan itu selama beberapa jam, dia baru menyadari jika itu adalah ayat Alquran. "Saya mendengarkan lagi dan berpikir sendiri. Saya pikir saya harus menjadi seorang Muslim," tekadnya dalam hati.



Amanda pergi ke sekolah keesokan harinya dan memberi tahu temannya. Dia mengatakannya dengan penuh percaya diri di dunia. Hai Tia, jadi aku Muslim sekarang! Dia tertawa kecil dan tersenyum. Fatiha kemudian menjelaskan syahadat kepada Amanda.

Dia memberi tahu apa artinya dan mengapa. Dia memberi tahu jika ingin menjadi Muslim harus mengucapkan syahadat. "Jadi, saya melakukannya tanpa ragu-ragu. Saya tidak tahu bagaimana menjadi seorang Muslim, tetapi saya tahu di dalam hati saya bahwa saya adalah satu," ujar dia.

Beberapa bulan kemudian, keluarga Amanda pindah untuk terakhir kalinya. Dia pun tidak pernah melihat Fatiha lagi, tetapi dia berdoa untuknya sepanjang waktu. Amanda merasa sendiri saat itu. Hariharinya diisi dengan membaca dan shalat beralaskan handuk pantai di kamarnya.

Dia mengenakan jilbab setiap hari di kamar, tetapi untuk keluar rumah dia belum berani. "Saya tahu orang tua saya akan kehilangan saya. Saya ingin memberi tahu mereka, tetapi saya belum memiliki keberanian. Bagaimana Allah SWT mem buka jalan bagi saya?" tanyanya dalam hati. Meski begitu, dia tetap menjalankan kewajiban sebagai Muslim. Saat itu dia berusia 19 tahun dan bergabung dalam komunitas remaja Muslimah untuk mendalami Islam.

Suatu hari seorang temannya menyebutkan bahwa mungkin jika menikah akan membantu dia dalam menjalani Islam lebih mudah. Dia menjelaskan jika memiliki rumah sendiri dengan seorang suami nantinya bisa berlatih Islam sesuai keinginan dan mengenakan jilbab jika menginginkannya.

"Saya menepisnya dengan tawa karena belum ada keinginan menikah. Hidup saya masih panjang dan saya masih sangat muda," pikir dia. Kemudian tanpa izin Amanda, temannya membuat profil kencan untuknya di situs kencan Muslim. Dia memperkenalkannya kepada beberapa orang.

Amanda merasa canggung jika bertemu karena mereka pasti mengenalnya. Namun, temannya telanjur mengunggahnya. Itu jalannya untuk membangun keluarga. Setelah beberapa hari, dia pun memeriksa akunnya dan mendapatkan sebuah surel dari seorang pria yang tinggal di lingkungan rumah.

Pria ini cukup tampan, saat itu kencan online masih cukup tabu. Namun, dia meyakinkan dirinya untuk tetap membalas e-mail itu. Dia pun mengatur pertemuan di Panera untuk saling mengenal satu sama lain.

Kesan pertama terasa kaku lalu dia pun berpisah dengan berpikir bahwa tidak akan pernah melihatnya lagi. "Namun, beruntung bagi saya, dia tidak menyerah. Kami menghabiskan musim panas itu berkenalan, tetapi masih muda dan naif saya pikir kami hanya berkencan," katanya.

Sumber :
https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/18/11/26/pirc4g313-meski-tak-tahu-amanda-menangis-saat-mendengar-ayat-alquran



Tidak ada komentar:

Posting Komentar