Minggu, 06 Oktober 2019

::: Wawancara Yvonne Ridley: "Korban-korban Perkosaan Gerombolan Assad Bicara." :::

40 tahun sebagai wartawan, ia mewawancarai banyak tawanan tapi tak pernah menemukan bukti kebejatan dalam skala besar seperti di penjara Assad

Wartawan Inggris, seorang Muslimah terkemuka, Yvonne Ridley menyiarkan hasil wawancaranya dengan beberapa perempuan Suriah korban perkosaan yang dilakukan gerombolan bersenjata Bashar al Assad lewat kantor berita Middle East Monitor.

Berikut ini sepenuhnya tulisan Yvonne Ridley yang diterjemahkan oleh redaksi Sahabat Al-Aqsha.

Korban penyiksaan berdiri di depan penyiksanya, bertanya-tanya dalam hati penyiksaan apa yang akan dilakukan (oleh si penyiksa) kali ini di Branch 215 yang terkenal kejam –dikenal pula dengan sebutan Raid Brigade– yang dikelola oleh intelijen militer di Damaskus. Apakah itu pemukulan tanpa ampun ataukah serangan seks lainnya yang telah menghancurkan tubuhnya?

Penyelidikan tiba-tiba terhenti oleh bunyi telepon. Ia menyaksikan dan mendengarkan dengan rasa tidak percaya ketika suara tertawa dan cekikikan (lawan bicara di telepon) menyebabkan si penyiksa berubah tersenyum hangat. Hampir otomatis, ia melembutkan nada suaranya. Itulah pengaruh kebanyakan anak perempuan terhadap ayah mereka.

Dalam hitungan detik ia memalingkan wajah dari korban penyiksaannya. Dia telah berubah dari monster brutal menjadi ayah yang hangat dan penuh perhatian. Ini merupakan salah satu aspek paling mengerikan yang muncul dari kisah-kisah yang saya dengar dari para wanita Suriah yang terhempas pada sebuah skala industri dan dijebloskan ke dalam penjara-penjara Bashar Al-Assad sejak awal perang 2011.

Realita yang menyakitkan adalah bahwa pemerkosaan massal, serangan seksual, hukuman pemukulan dan penyiksaan mental dilakukan secara rutin terhadap wanita oleh ayah, suami dan bahkan kakek seseorang.

Pada akhir giliran jam kerja, pria-pria ini harus kembali ke rumah-rumah keluarga mereka dan keadaan normal, setelah benar-benar menghancurkan hidup dan jiwa wanita-wanita dan gadis-gadis muda yang berada dalam cengkraman mereka. Kenyataan yang kejam adalah jika suami Anda bekerja di Branch 215 kemudian dia mungkin seorang pemerkosa berantai atau bertindak sebagai penonton yang menyaksikan kejahatan paling keji dan tak terbayangkan terhadap tawanan-tawanan wanita dan gadis Suriah.

Saya bertanya-tanya bagaimana monster ini menjawab ketika ia sampai di rumah dan ditanya, “Apa yang kau lakukan hari ini, Ayah?” Tentu saja dia tidak akan memberitahu putrinya tentang gigi yang ia hancurkan, tulang-tulang yang ia patahkan atau seks yang ia paksakan pada korbannya.

Ketika berusaha untuk mengupas sisi kelam rezim Assad yang tersembunyi ini, saya bertemu sejumlah wanita yang berakhir di Branch 215 atau penjara-penjara yang sama-sama mengerikan lainnya, serta penjara-penjara hantu yang dikelola oleh rezim Suriah. Dalam setiap pertemuan, gambaran Bashar Al-Assad tampak besar, entah pada foto-foto yang digantungkan di dinding-dinding atau di kaus yang dipakai oleh pria-pria yang bertanggung jawab atas pemerkosaan-pemerkosaan brutal itu.

Ya, Anda tidak salah baca. Wajah penguasa Suriah itu menghiasi kaus-kaus yang digunakan oleh para pemerkosa di tempat kerjanya, seakan-akan ia menodai wanita-wanita Suriah lewat orang yang diberi kuasa untuk melakukannya. Tak heran banyak yang berhasil keluar dari penjara tidak bisa tahan melihat wajah pemimpin Suriah itu. Bibir kecil, tipis dan tatapan tajam menusuk itu membuat tulang punggung mereka gemetaran setiap kali melihat gambarnya.

Bashar al Asad bersama Khamenei
“Beberapa hari saya berhasil melupakan apa yang terjadi pada saya,” kata Noor pada saya, “dan kemudian tiba-tiba saya melihat seseorang menyeringai atau menggulung bibir mereka dengan cara tertentu dan itu seakan menjadi pemicu; saya kembali ke dalam Branch 215 menderita akibat kilas balik, merasakan teror dan kecemasan.” Tiga tahun sejak cobaan berat yang menimpa dirinya, ia nampak baik-baik saja terlihat dari luar. Akan tetapi, Anda tahu, dalam momen-momen gelapnya, ia jatuh kembali ke mimpi-mimpi buruk.

Disiksa Karena Akan Shalat

Badria tidak seberuntung itu; baginya, mimpi buruk terus menghantuinya selama lima tahun setelah ia dan 40 wanita di Homs ditangkap dan dibawa ke sebuah apartemen di ibukota yang jatuh pada revolusi Suriah. Ketika ditangkap ia berpakaian hitam dan mengenakan cadar, yang membuat ia semakin menjadi target para penculik yang merupakan Syiah Nusairiyah-Alawiyah itu. Mereka mengejek, menghina dan melecehkannya karena ketakwaannya.

Suatu ketika si penculik meninggalkan ruangan tempat Badria ditawan, lalu ia mulai melakukan tayammum menggunakan debu yang ada di lantai batu karena mustahil untuk berwudhu. Tanpa sepengetahuannya, kamera-kamera CCTV menangkap aksinya itu dan segera ketika ia bersiap untuk shalat, pria itu kembali dan memukulinya dengan tongkat.

Kaki dan pergelangan tangannya diikat, serta dibiarkan menggantung dari sebuah kait langit-langit dengan tali di sekeliling tangannya. Setiap kali ia menyebutkan nama Allah atau zikir lainnya ia dipukuli. Tangannya gemetar, ia melihat ke arah saya dan membuka mulutnya perlahan sebelum melepaskan gigi palsunya. Gigi-giginya, atas dan bawah, telah dihancurkan oleh tongkat yang dipukulkan dengan keras dan sengaja tepat di seluruh wajahnya. Tulang-tulang pipinya patah.

“Dulu payudara saya besar,” katanya sambil mengangkat kausnya, “tapi lihat sekarang.” Para dokter mengatakan padanya bahwa pukulan di payudaranya sangat parah sehingga jaringannya hancur dan mungkin tidak akan pernah pulih. Untuk ukuran baju, ia mungkin memakai ukuran 14 untuk standar Inggris, M hingga L ketika ia ditangkap. Akan tetapi, ketika ia duduk di depan saya, ia terlihat hanya berukuran 6, ia terlihat seperti tulang terbungkus kulit yang akan menanggung bekas luka penahanan seumur hidup.

Berbicara dengan bantuan seorang penerjemah, ia mengatakan pada saya bagaimana para wanita di kelompoknya dibawa ke sebuah ruangan yang lebih kecil dimana mereka diperkosa dan dipermalukan oleh dua atau lebih petugas intelijen militer. Di sana, di atas ranjang, menatap lama, potret Assad dan saudara lelakinya Maher. Di samping ranjang ada meja kecil dengan berbagai macam botol alkohol untuk diminum para lelaki itu.

Untuk melawan kondisi mabuk mereka, jelas Badria, mereka mengambil pil-pil biru sebelum memangsa korban. Badria juga menggambarkan bagaimana beberapa pria meletakkan pil oranye di bawah lidah mereka. Setelah melakukan sejumlah penelitian saya menyimpulkan bahwa obat-obatan yang Badria gambarkan adalah Viagra berbentuk berlian biru dan pil oranye itu adalah Levitra, yang bekerja empat kali lebih cepat untuk beberapa pria dan efeknya langsung bisa dirasakan hanya dalam 15 menit.

Tak perlu bertanya pada Badria apakah ia telah diserang secara seksual. Rincian yang ia berikan tentang apa yang terjadi di dalam ruang pemerkosaan, pil-pil dan alkohol, serta potret-potret Assad bersaudara telah memberitahu saya semua yang perlu saya tahu. Ia dipaksa masuk ke ruangan itu dalam banyak kesempatan dimana kamera-kamera juga dipasang dan para wanita diarahkan untuk percaya bahwa para monster itu telah merekam dan memotret mereka.

Ia menceritakan pada saya mengenai salah seorang wanita yang “diperkosa beramai-ramai/berkelompok (gang rape) hingga tewas”, sementara yang lainnya telah benar-benar kehilangan akalnya. Kebebasan bagi Badria senilai; $17,000 yang merupakan uang tebusan yang harus dibayarkan keluarganya untuk membebaskannya dari penjara. Jika ia berpikir mimpi buruk akan berakhir setelah bebas, sungguh, ia salah. Suaminya tidak selamat dari penjara militer di Homs tempat ia ditawan; para saksi mata mengatakan padanya bahwa suaminya mati setelah matanya dicungkil oleh para penawannya.

Ayahnya dan salah seorang saudara lelakinya syahid saat berjuang dengan Free Syrian Army dan adik lelaki yang meminjam begitu banyak uang untuk membebaskannya kini dipenjara, karena tidak mampu membayar utang. Sementara itu, saudara perempuannya ditangkap dan disekap, serta mereka yang tersisa di keluarga berusaha mati-matian untuk mengumpulkan $1,000 yang diminta demi pembebasannya. Jadi, rezim Assad tak hanya melecehkan para wanita dalam skala industri, tapi juga menghasilkan uang dari kesengsaraan mereka dan menjalankan sesuatu yang sama dengan perdagangan budak yang menjijikkan.

Anak lelaki Badria, yang berusia sekitar tujuh, duduk diam ketika ibunya menceritakan kisahnya; sesekali, ketika rinciannya menjadi terlalu jelas/vulgar, ia menyuruh anaknya pergi membeli sesuatu. Anak lelakinya itu nampak hampir setrauma ibunya yang hilang di depan matanya dengan perawakan tinggi dan sehat. Badria terlihat sangat rapuh ketika saya bangun untuk pergi, sangat sulit memberinya pelukan erat; sejujurnya saya merasa bahwa ia mungkin akan patah.

Anak Usia Tujuh Hingga Wanita Tua Diperkosa

Di rumah lainnya saya bertemu seorang ibu lima anak yang dipanggil Aishah – yang ditangkap di masa-masa awal perang karena ia berpartisipasi dalam demonstrasi di jalan. Ia dibawa ke Branch 215 dimana ia dipukuli “dengan cara yang memalukan”. Ia berpindah-pindah di sekitar sistem intelijen dan dibawa ke tiga cabang lainnya, termasuk satu di Adra.

Selama meringkuk di penjara ia melihat anak-anak perempuan berusia tujuh, wanita tua dan setiap umur di antara yang ditawan, diperkosa dan dilecehkan. Ia menyatakan lima petugas militer memakai kaus bergambar Assad sebelum melakukan pemerkosaan berkelompok (gang rape) terhadap seorang wanita. “Mereka menyatakan Assad sebagai tuhan mereka,” katanya.

Kini hidup dengan aman di perbatasan Turki dekat Hatay dengan lima anak perempuannya usia tiga hingga 17, Aishah adalah seorang janda. Suaminya, yang juga ditawan dan dianiaya, selamat dari cobaan berat di penjara hanya untuk dibunuh dalam serangan udara di Ghouta timur tiga tahun lalu, tepat setelah kelahiran anak kelimanya.

Assad Tak Bisa Jadi Bagian dari Solusi


Wanita-wanita yang saya temui semuanya menginginkan keadilan. Mereka ingin melihat pria-pria yang menyiksa, memerkosa dan melecehkan mereka disidang atas kejahatan perang yang tidak diragukan lagi telah mereka semua lakukan. Saya ingin bisa memberitahu bahwa mereka kini selamat dan aman, tapi saya tidak yakin bahwa mereka akan pernah bisa untuk pulih sepenuhnya. Seseorang mengatakan pada saya bahwa saat ia menutup matanya ia kembali ke dalam penjara yang seperti neraka itu, takut bahwa pria-pria Assad akan menerkam mereka.

Yang membuat semua ini sangat buruk adalah diyakini sekitar 7.000 wanita dan 400 anak-anak masih berada di dalam penjara-penjara rezim Assad. Saya tidak peduli jika itu membutuhkan uang untuk mengeluarkan mereka dari cengkeraman monster-monster itu, tapi setelah berbicara dengan para korban, saya tahu dengan pasti bahwa Assad tidak akan pernah menjadi bagian dari solusi di Suriah.

Selama lebih dari 40 tahun sebagai wartawan, saya mewawancarai para tawanan mulai dari Abu Ghraib di Iraq, Bagram di Afganistan, Guantanamo, Abu Saleem di Tripoli dan Penjara Toulal 2 di Meknes, Maroko, tapi saya tidak pernah menemukan bukti tentang sedemikian banyak kebejatan dan perilaku tidak manusiawi dalam skala besar seperti apa yang terungkap saat ini –bahkan ketika Anda membaca ini– di penjara-penjara Assad.

Ada rezim brutal di Damaskus, yang dijalankan oleh monster-monster yang menyamar sebagai suami yang sangat penyayang dan cinta keluarga di rumah-rumah di sekitar Suriah sambil melakukan kejahatan yang paling mengerikan. “Apa yang Ayah lakukan di tempat kerja hari ini?” Percayalah, kamu tidak mau mengetahuinya, habibi (sayangku-pent); Ayah dan rekan-rekannya yang mengerikan harus dihentikan.*


Sumber :
https://www.hidayatullah.com/berita/wawancara/read/2018/03/19/138218/wawancara-yvonne-ridley-korban-korban-perkosaan-gerombolan-assad-bicara.html

 PERLU..
 KHILAFAH PELINDUNG UMAT ISLAM



Tidak ada komentar:

Posting Komentar