Senin, 28 Oktober 2019

::: Islamfobia di Eropa Karena Ulah Media :::

Mengapa Islamfobia Sangat Berbahaya? penulis bernama Imran Awan adalah Dosen Senior Fakultas Kriminologi dan Wakil Direktur Pusat Kriminologi Terapan di Birmingham City University.

Apakah itu Muhammad menjadi nama bayi paling populer di Inggris atau satu dari 10 bayi di Inggris adalah Muslim atau fakta bahwa daging halal disajikan di Pizza Hut, kisah Muslim cenderung lebih banyak menimbulkan perasaan gerah ketimbang pencerahan.

Yang jelas, Islamofobia kerap diwarnai oleh ketakutan dan anggapan bahwa Muslim akan mengambil alih pekerjaan, rumah dan kehidupan kita, yang pada akhirnya akan menciptakan masyarakat yang terpolarisasi dan menyebabkan benturan peradaban.
Dan kita sudah biasa melihat isu seperti nama Muhammad untuk bayi dijadikan alat kebencian oleh kelompok sayap kanan untuk melawan Muslim.

Ambil contoh berita utama Daily Mail pada Januari 2014: “Satu dari 10 bayi di Inggris adalah Muslim: Mereka yang beragama itu akan mengalahkan jumlah warga Kristen yang taat.'”

Artikel itu, yang dihiasi dengan gambar dua wanita Muslim mengenakan cadar, menunjukkan kebencian anti-Muslim di internet yang memicu komentar seperti: “Kejutan, kejutan, larang cadar sekarang sebelum terlambat !!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” dan “Ini harus dihentikan, ini adalah negara Kristen yang berikutnya akan menganut hukum syariah.”

Meningkatkan praktik dan tanggung jawab media dalam memotret dan melaporkan dengan adil soal Islam dan Muslim Inggris, tanpa bias atau diskriminasi atau berniat memicu sikap anti-Islam, sangat penting. Media harus menampilkan cara yang bertanggung jawab, objektif dan berimbang dalam melaporkan berita seperti itu.


Sayangnya, kisah di atas bukan satu-satunya.

Tahun lalu harian The Sun menerbitkan artikel berjudul “Ramadan a ding-dong” yang juga menampilkan sudut pandang yang bias serta sensasional, bertujuan merendahkan semua Muslim dan memotret Islam secara negatif.

Hasilnya, kita melihat Muslim di Inggris menderita akibat jurnalisme buruk yang jadi bahan bakar ekstremis dan kelompok sayap-kanan seperti Anjem Choudary dan Muslims for Crusades.

Menyedihkannya, cerita-cerita seperti ini membantu menciptakan atmosfer yang mencitrakan Muslim sebagai orang jahat dan sekaligus memicu narasi anti-Muslim.

Reportase dan penggambaran Muslim Inggris seperti itu juga membantu menciptakan kerangka bagi komunitas lain dan secara khusus mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap Muslim, terutama jika dikombinasikan dengan jurnalisme pemalas yang gagal menggambarkan fakta sesungguhnya dalam cerita-cerita itu.

Contoh lainnya yang tidak bisa kita lupakan adalah cerita pada 2010, saat jendela pusat rekreasi di Inggris ditutupi. Daily Mail menulis tajuk utama dengan judul: “Perenang berenang dalam gelap setelah dewan menutupi jendela kolam renang demi melindungi aurat wanita Muslim”. Namun belakangan dewan mengatakan, permintaan untuk menutupi jendela tidak hanya datang dari komunitas Muslim.

Dan kita juga melihat dari penelitian sebelumnya soal liputan media tentang Muslim, terutama setelah 9/11, bahwa titik berat berita—bahkan jika berita itu secara fakta akurat—seringkali menyamaratakan Muslim dalam bentuk yang negatif.

Contohnya, sebuah studi oleh para akademisi di Cardiff University menemukan bahwa mayoritas tentang Muslim berita setelah 9/11 bernada negatif. Riset media terhadap Muslim Inggris menemukan bahwa setidaknya dua per tiga artikel koran saat itu berfokus seputar terorisme.

Cerita-cerita ini kerap menggunakan kata-kata seperti “militansi” dan “radikalisme” untuk menggambarkan Muslim dengan cara yang negatif dan merupakan produk prasangka anti-Muslim yang lebih luas di seluruh koran Inggris.

Yang menarik, para peneliti juga menemukan kata sifat yang sama yang digunakan untuk menggambarkan Muslim, seperti kata “radikal”, “fanatik” dan “fundamentalis”.

Jadi apakah cerita itu secara fakta tidak benar atau menggambarkan Muslim sebagai ancaman keamanan, jelas ada upaya pembusukan terhadap Muslim baik di online maupun offline dengan komentar-komentar ancaman yang sangat provokatif dan memicu Islamofobia.

Sikap negatif ini dibingkai dengan kerangka bahwa Muslim adalah orang-orang yang berbahaya dan menciptakan mentalitas “mereka vs kita” yang bisa sangat merusak bagi hubungan antar komunitas.
Sekarang adalah waktunya untuk mengubah tren ini dan seperti yang dikatakan oleh Mehdi Hasan (Jurnalis Muslim), “sanksi bagi penulisan berita yang tidak benar dan menyudutkan Muslim” adalah salah satu cara kita untuk melihat peliputan berimbang yang tidak menjelekkan atau menciptakan stereotip bagi Muslim.[Newsman/CNN/Ac].


Sumber :
http://shoutussalam.org/2015/01/islamofobia-di-eropa-karena-ulah-media/

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar