Berada di lingkungan konservatif yang taat, tak otomatis membuat Maria Clara Castellar menemukan hakikat kedamaian, bahkan keberadaan tuhan.
Castellar tergolong gadis yang taat. Saat usia 21 tahun, ia masih rajin ke geraja dan membantu sekolah Katolik selama enam tahun.
Tentu saja tujuannya untuk menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Tapi, selama itu pula ia tidak bisa merasakan sesuatu yang lebih. “Saya mengakui bahwa saya benar-benar hilang,” kata Castellar, seperti dilansir dari Ifoundislam.net.
Kekosongan hati inilah yang mendorong Castellar untuk menemukan Tuhan sejati. Entah bagaimana dan tak tahu mengapa, ia merasa tertarik mengenal lebih jauh Islam. Castellar pun akhirnya memutuskan untuk mempelajari agama ini di sekolah.
Ia mengambil kelas studi Islam yang diajar oleh guru favoritnya. Sedikit demi sedikit, lembaran demi lembaran, ia membaca perlahan, kemudian tertegun risalah samawi ini begitu indah. Islam agama yang damai dan cinta perdamaian.
Agama yang membawa manusia kepada Tuhan, cinta, dan kebahagiaan. Ketika mempelajari Islam, Castellar mengaku dirinya menemukan banyak jawaban atas pertanyaannya selama bertahun-tahun. “Saya sedang mencari Tuhan dalam hidup saya. Saya mencari Islam,” ujarnya.
Pelajaran agama di sekolah menjadi modal awal dalam jenjang perkenalannya dengan Islam. Tetapi, ketika itu ia masih belum bersentuhan dengan hidayah, sekadar merasa takjub dan tertarik. Pencarian hidayahnya pun berlanjut.
Suatu hari, temannya, Camila Merlano, menawarkan pekerjaan relawan di negara lain. Saat sesi wawancara, ia memilih Mesir sebagai negara tujuannya menjadi sukarelawan. Ia menghubungi seseorang di Mesir yang mengerti soal pekerjaan tersebut.
Ia menemukan seorang pria yang bekerja di sebuah organisasi kerelawanan. Pria itu menawarkan bantuan kepada Castellar. Teman Mesir itu menjanjikan kepadanya bisa mendapatkan pekerjaan kerelawanan.
Sayangnya, ibu Castellar tidak mengizinkan jika dirinya memilih Mesir sebagai negara tujuan untuk misi mulianya itu. Castellar mengalihkan destinasi ke negara lain, yakni Brasil.
Persahabatannya dengan pria Mesir tersebut tak lantas berakhir. Keduanya mulai membicarakan kehidupan sehari-hari. Pria itu juga memperkenalkan banyak hal baru tentang Islam kepada Castellar. Bukan hanya sebagai subjek pembelajaran seperti di sekolah, melainkan Islam sesungguhnya.
Setelah itu, Castellar memutuskan untuk membaca segala sesuatu tentang Islam. Bahkan, ia memilih mengambil tema yang berhubungan dengan Islam untuk menyelesaikan tugas akhirnya di sekolah. Ibunya juga membelikan banyak buku tentang Nabi Muhammad SAW dan yang paling penting Alquran pertamanya.
Ia juga berkonsultasi dengan pembimbingnya yang banyak mengirim materi Islam. Guru pembimbingnya juga merekomendasikan sebuah buku berjudul The Girls of Riyadh. “Aku punya banyak informasi, tapi ada sesuatu yang masih hilang,” ujar Castellar.
Setelah menyelesaikan tugas akhirnya, pada 2013 ia ingin belajar bahasa Inggris dan Prancis. Castellar dan temannya memilih Kanada sebagai tempat belajar. Sayangnya, kedutaan besar tidak memberi izin kepada Castellar untuk pergi. Ia sangat benci hal tersebut, namun ibunya saat itu berkata, “Tenang. Segala sesuatu terjadi karena suatu alasan. Tuhan yang tahu.”
Akhirnya Castellar memilih Amerika Serikat meski ia kurang suka datang ke sana. Ia belajar di Irvine. Belajar di Irvine bukan kemauan Castellar, melainkan ibunya yang menginginkan. Ibunya memilih Irvine karena kota itu paling dekat dengan Huntington Beach. “Lokasi tempat aku tinggal,” katanya.
Pada 25 Februari 2013 Castellar memulai kelas barunya di Kaplan International College, Irvine, Amerika Serikat. Di sana, ia bertemu banyak pelajar Muslim dan non-Muslim.
Dalam sebuah kesempatan pada akhir pekan, ia pergi ke sebuah kota di California, dekat dengan Huntington Beach, hanya sekadar untuk menikmati liburan akhir pekan.
Di sebuah pasar, Castellar melihat empat Muslim tengah berdakwah. Mereka menyebarkan informasi berupa buku dan selebaran ihwal Islam. “Saya percaya bahwa itu merupakan tanda dari Allah,” ujar Castellar.
Sebenarnya, tebersit di benaknya, tak ingin belajar Islam lagi di Irvine. Sampai akhirnya Catellar bertemu dengan seseorang yang cantik yang membuatnya kembali antusias dengan Islam. Wanita itu mengajari beragam hal baru tentang Islam. Akhirnya, magnet hidayah itu begitu kuat.
Tanggal 28 Mei 2013, Castellar benar-benar kembali belajar Islam. Setelah beberapa hari ia berdiskusi dengan wanita tersebut, Castellar mengatakan dirinya yakin untuk mengucap dua kalimat syahadat. Wanita itu dan suaminya membawa Castellar ke sebuah masjid.
Dengan bimbingan keluarga Muslim tersebut Castellar berikrar syahadat. “ia dan suaminya mengucapkan selamat kepadaku. Kami merayakan dengan beberapa makanan Arab,” katanya mengenang momentum itu.
Sesampainya di rumah, Castellar mengambil mandi panjang. Ia menangis karena dirinya tahu hidupnya telah berubah. Ia sadar, Tuhan membawanya ke Irvine karena takdir.
Castellar merasa bersalah karena sejak awal tidak percaya pada takdir yang digariskan oleh-Nya. Tuhan memberinya kesempatan merasa hidup lagi, merasa dilahirkan dan benar-benar lahir kembali.
Sang ibu pun menjadi orang yang pertama mendapat kabar keislamannya itu. Keputusannya tersebut didukung sepenuhnya oleh sang ibu. Awalnya, Castellar tidak memahami ucapan selamat yang diberikan ibunya. Namun, akhirnya ia mengerti ibunya senang kalau Castellar menemukan Tuhan dalam hatinya.
Ia pun merasa sangat bahagia dengan kehidupan barunya. Keluarga yang mendukungnya, saudara-saudara baru, dan Islam telah melengkapi kehidupann Castellar.
Castellar sekarang adalah Muslimah. Tidak peduli apa yang orang katakan tentang keputusannya itu. Dan yang paling penting baginya, ia memiliki Tuhan dalam hati. Islam bukanlah agama teroris. Bukan pula sesuatu yang buruk. Islam merupakan agamanya dan risalah Allah SWT yang suci.
Sumber :
https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/18/12/19/pjzh6n313-castellar-sekarang-adalah-muslimah
Castellar tergolong gadis yang taat. Saat usia 21 tahun, ia masih rajin ke geraja dan membantu sekolah Katolik selama enam tahun.
Tentu saja tujuannya untuk menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Tapi, selama itu pula ia tidak bisa merasakan sesuatu yang lebih. “Saya mengakui bahwa saya benar-benar hilang,” kata Castellar, seperti dilansir dari Ifoundislam.net.
Kekosongan hati inilah yang mendorong Castellar untuk menemukan Tuhan sejati. Entah bagaimana dan tak tahu mengapa, ia merasa tertarik mengenal lebih jauh Islam. Castellar pun akhirnya memutuskan untuk mempelajari agama ini di sekolah.
Ia mengambil kelas studi Islam yang diajar oleh guru favoritnya. Sedikit demi sedikit, lembaran demi lembaran, ia membaca perlahan, kemudian tertegun risalah samawi ini begitu indah. Islam agama yang damai dan cinta perdamaian.
Agama yang membawa manusia kepada Tuhan, cinta, dan kebahagiaan. Ketika mempelajari Islam, Castellar mengaku dirinya menemukan banyak jawaban atas pertanyaannya selama bertahun-tahun. “Saya sedang mencari Tuhan dalam hidup saya. Saya mencari Islam,” ujarnya.
Pelajaran agama di sekolah menjadi modal awal dalam jenjang perkenalannya dengan Islam. Tetapi, ketika itu ia masih belum bersentuhan dengan hidayah, sekadar merasa takjub dan tertarik. Pencarian hidayahnya pun berlanjut.
Suatu hari, temannya, Camila Merlano, menawarkan pekerjaan relawan di negara lain. Saat sesi wawancara, ia memilih Mesir sebagai negara tujuannya menjadi sukarelawan. Ia menghubungi seseorang di Mesir yang mengerti soal pekerjaan tersebut.
Ia menemukan seorang pria yang bekerja di sebuah organisasi kerelawanan. Pria itu menawarkan bantuan kepada Castellar. Teman Mesir itu menjanjikan kepadanya bisa mendapatkan pekerjaan kerelawanan.
Sayangnya, ibu Castellar tidak mengizinkan jika dirinya memilih Mesir sebagai negara tujuan untuk misi mulianya itu. Castellar mengalihkan destinasi ke negara lain, yakni Brasil.
Persahabatannya dengan pria Mesir tersebut tak lantas berakhir. Keduanya mulai membicarakan kehidupan sehari-hari. Pria itu juga memperkenalkan banyak hal baru tentang Islam kepada Castellar. Bukan hanya sebagai subjek pembelajaran seperti di sekolah, melainkan Islam sesungguhnya.
Setelah itu, Castellar memutuskan untuk membaca segala sesuatu tentang Islam. Bahkan, ia memilih mengambil tema yang berhubungan dengan Islam untuk menyelesaikan tugas akhirnya di sekolah. Ibunya juga membelikan banyak buku tentang Nabi Muhammad SAW dan yang paling penting Alquran pertamanya.
Ia juga berkonsultasi dengan pembimbingnya yang banyak mengirim materi Islam. Guru pembimbingnya juga merekomendasikan sebuah buku berjudul The Girls of Riyadh. “Aku punya banyak informasi, tapi ada sesuatu yang masih hilang,” ujar Castellar.
Setelah menyelesaikan tugas akhirnya, pada 2013 ia ingin belajar bahasa Inggris dan Prancis. Castellar dan temannya memilih Kanada sebagai tempat belajar. Sayangnya, kedutaan besar tidak memberi izin kepada Castellar untuk pergi. Ia sangat benci hal tersebut, namun ibunya saat itu berkata, “Tenang. Segala sesuatu terjadi karena suatu alasan. Tuhan yang tahu.”
Akhirnya Castellar memilih Amerika Serikat meski ia kurang suka datang ke sana. Ia belajar di Irvine. Belajar di Irvine bukan kemauan Castellar, melainkan ibunya yang menginginkan. Ibunya memilih Irvine karena kota itu paling dekat dengan Huntington Beach. “Lokasi tempat aku tinggal,” katanya.
Pada 25 Februari 2013 Castellar memulai kelas barunya di Kaplan International College, Irvine, Amerika Serikat. Di sana, ia bertemu banyak pelajar Muslim dan non-Muslim.
Dalam sebuah kesempatan pada akhir pekan, ia pergi ke sebuah kota di California, dekat dengan Huntington Beach, hanya sekadar untuk menikmati liburan akhir pekan.
Di sebuah pasar, Castellar melihat empat Muslim tengah berdakwah. Mereka menyebarkan informasi berupa buku dan selebaran ihwal Islam. “Saya percaya bahwa itu merupakan tanda dari Allah,” ujar Castellar.
Sebenarnya, tebersit di benaknya, tak ingin belajar Islam lagi di Irvine. Sampai akhirnya Catellar bertemu dengan seseorang yang cantik yang membuatnya kembali antusias dengan Islam. Wanita itu mengajari beragam hal baru tentang Islam. Akhirnya, magnet hidayah itu begitu kuat.
Tanggal 28 Mei 2013, Castellar benar-benar kembali belajar Islam. Setelah beberapa hari ia berdiskusi dengan wanita tersebut, Castellar mengatakan dirinya yakin untuk mengucap dua kalimat syahadat. Wanita itu dan suaminya membawa Castellar ke sebuah masjid.
Dengan bimbingan keluarga Muslim tersebut Castellar berikrar syahadat. “ia dan suaminya mengucapkan selamat kepadaku. Kami merayakan dengan beberapa makanan Arab,” katanya mengenang momentum itu.
Sesampainya di rumah, Castellar mengambil mandi panjang. Ia menangis karena dirinya tahu hidupnya telah berubah. Ia sadar, Tuhan membawanya ke Irvine karena takdir.
Castellar merasa bersalah karena sejak awal tidak percaya pada takdir yang digariskan oleh-Nya. Tuhan memberinya kesempatan merasa hidup lagi, merasa dilahirkan dan benar-benar lahir kembali.
Sang ibu pun menjadi orang yang pertama mendapat kabar keislamannya itu. Keputusannya tersebut didukung sepenuhnya oleh sang ibu. Awalnya, Castellar tidak memahami ucapan selamat yang diberikan ibunya. Namun, akhirnya ia mengerti ibunya senang kalau Castellar menemukan Tuhan dalam hatinya.
Ia pun merasa sangat bahagia dengan kehidupan barunya. Keluarga yang mendukungnya, saudara-saudara baru, dan Islam telah melengkapi kehidupann Castellar.
Castellar sekarang adalah Muslimah. Tidak peduli apa yang orang katakan tentang keputusannya itu. Dan yang paling penting baginya, ia memiliki Tuhan dalam hati. Islam bukanlah agama teroris. Bukan pula sesuatu yang buruk. Islam merupakan agamanya dan risalah Allah SWT yang suci.
Sumber :
https://khazanah.republika.co.id/berita/dunia-islam/mualaf/18/12/19/pjzh6n313-castellar-sekarang-adalah-muslimah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar