Berkaca dari Muslim Singapura:
Iwan mahasiswa UI, bercerita. Suatu hari ia jalan-jalan ke Singapura. Ia kagum dengan kemajuan, sistem, keteraturan dan kebersihan Singapura.
Di sebuah masjid, seusai sholat Dhuhur ia bertemu dengan Rauf, warga muslim melayu asli Singapura.
Iwan berkata: "Rauf, Anda pasti puas dan gembira dengan kemajuan Singapura. Semua tempatnya bersih, alat transportasi teratur dan maju. Saya dengar pelabuhan Anda bahkan termasuk yang paling sibuk di Dunia, baik laut maupun udara. Sekarang ini, ekonomi Singapura paling maju di Asia Tenggara."
Rauf menjawab: "Saya ini muslim Melayu. Kemajuan Singapura dengan yang sudah disebutkan memang benar. Tapi bukan kami yang menikmatinya. Sekarang Singapura buat kami seperti negara baru dan kami orang asing."
"Kami tergeser, sekarang tinggal di pinggir-pinggir kota, juga mengontrak karena tak sanggup membeli rumah atau apartemen. Untuk itu saja kami harus bekerja keras. Biaya hidup di sini sangat tinggi, tak sempat kami jalan-jalan menikmati kota. Kalian lihat, ada berapa gelintir Melayu jalan-jalan di mall atau tempat rekreasi? Hampir tak ada."
"Dulu Singapura kota yang sederhana, tapi kami jadi muslim yang lebih bebas dan bahagia. Sekarang, jangan lagi suara mengaji, suara adzan tak ada, kecuali di dalam masjid. Jumlah masjid juga sangat sedikit. Di kota hampir tak ada, di mall-mall juga hampir tak sedia tempat sholat."
"Dulu kami bebas makan di mana suka. Sekarang, makanan halal susah dicari kecuali di kampung-kampung kita saja. Ke kota, kami bawa bekal, karena kalau tidak mestilah puasa, hampir semua makanan kita lihat tak halal."
"Bahasa Melayu pun tak lagi dipakai, Semua orang cakap Inggris dan Mandarin. Negeri kami sekarang ibarat diambil orang."
Iwan tercengang, tidak pernah ia terpikir hal semacam ini.
Iwan: "Ini negeri kalian, mengapa tak buat perubahan?"
Rauf tersenyum kecut, lanjutnya: "Dulu kami bisa, kami mayoritas. Sekarang jumlah kami hanya 20% saja dan terus berkurang. Reklamasi dibikin terus, tapi yang menempati bukan kami, orang baru, orang asing. Apa bisa buat dengan jml sedikit? Ini sudah jadi negara demokrasi, semua ditentukan dengan suara terbanyak."
Yang mengejutkan Iwan adalah kata-kata Rauf terakhir:
"Sepertinya sebentar lagi juga terjadi pada negeri Anda."
Sumber :
http://ift.tt/2e92Ctv
Iwan mahasiswa UI, bercerita. Suatu hari ia jalan-jalan ke Singapura. Ia kagum dengan kemajuan, sistem, keteraturan dan kebersihan Singapura.
Di sebuah masjid, seusai sholat Dhuhur ia bertemu dengan Rauf, warga muslim melayu asli Singapura.
Iwan berkata: "Rauf, Anda pasti puas dan gembira dengan kemajuan Singapura. Semua tempatnya bersih, alat transportasi teratur dan maju. Saya dengar pelabuhan Anda bahkan termasuk yang paling sibuk di Dunia, baik laut maupun udara. Sekarang ini, ekonomi Singapura paling maju di Asia Tenggara."
Rauf menjawab: "Saya ini muslim Melayu. Kemajuan Singapura dengan yang sudah disebutkan memang benar. Tapi bukan kami yang menikmatinya. Sekarang Singapura buat kami seperti negara baru dan kami orang asing."
"Kami tergeser, sekarang tinggal di pinggir-pinggir kota, juga mengontrak karena tak sanggup membeli rumah atau apartemen. Untuk itu saja kami harus bekerja keras. Biaya hidup di sini sangat tinggi, tak sempat kami jalan-jalan menikmati kota. Kalian lihat, ada berapa gelintir Melayu jalan-jalan di mall atau tempat rekreasi? Hampir tak ada."
"Dulu Singapura kota yang sederhana, tapi kami jadi muslim yang lebih bebas dan bahagia. Sekarang, jangan lagi suara mengaji, suara adzan tak ada, kecuali di dalam masjid. Jumlah masjid juga sangat sedikit. Di kota hampir tak ada, di mall-mall juga hampir tak sedia tempat sholat."
"Dulu kami bebas makan di mana suka. Sekarang, makanan halal susah dicari kecuali di kampung-kampung kita saja. Ke kota, kami bawa bekal, karena kalau tidak mestilah puasa, hampir semua makanan kita lihat tak halal."
"Bahasa Melayu pun tak lagi dipakai, Semua orang cakap Inggris dan Mandarin. Negeri kami sekarang ibarat diambil orang."
Iwan tercengang, tidak pernah ia terpikir hal semacam ini.
Iwan: "Ini negeri kalian, mengapa tak buat perubahan?"
Rauf tersenyum kecut, lanjutnya: "Dulu kami bisa, kami mayoritas. Sekarang jumlah kami hanya 20% saja dan terus berkurang. Reklamasi dibikin terus, tapi yang menempati bukan kami, orang baru, orang asing. Apa bisa buat dengan jml sedikit? Ini sudah jadi negara demokrasi, semua ditentukan dengan suara terbanyak."
Yang mengejutkan Iwan adalah kata-kata Rauf terakhir:
"Sepertinya sebentar lagi juga terjadi pada negeri Anda."
Sumber :
http://ift.tt/2e92Ctv
APAKAH NESTAPA MUSLIM MELAYU (SINGAPURA) AKAN TERJADI TERHADAP MUSLIM JAKARTA ?
BUKANKAH ALLAH S.W.T SUDAH MENGINGATKAN ?
KENAPA KALIAN (MUNAFIKIN) LANGGAR FIRMAN ALLAH ?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar