JAKARTA – Perhatikan di setiap mall sudah dipasang pohon Natal. Padahal perayaan Natal baru akan berlangsung 25 Desember nanti.
Tapi mulai sekarang di berbagai kota besar, terutama di Jakarta di setiap mall sudah nampak pohon Natal, bahkan para pekerjanya diwajibkan memakai topi “sinterklas”.
Lihat di Mall Margo City, Depok. Di halaman masuk mall itu, pohon Natal berdiri dengan sangat megah. Tingginya hampir lima meter. Belum lagi di kanan-kiri pintu masuknya, juga dipasang pohon Natal dan boneka sinterklas.
Pohon Natal itu dihiasai dengan lampu kerlap-kerlip. Padahal di negara-negara Barat pun, seperti Eropa belum nampak pohon Natal di mall-mall.
Lalu siapa pengunjung mall-mall di Indonesia itu? Muslim dan Muslimah. Muslimah berjilbab masuk ke mall, tanpa tergangggu dan terusik hatinya melihat pohon yang menjadi lambang kemusyrikan.
Mereka berbelanja, makan-makan, dan ngobrol berjam-jam di di dalam mall. Setiap tahun Muslim dan Muslimah hanya menambah “keuntungan” bagi golongan Nasrani. Sementara itu, Muslim dan Muslimah, selain rugi secara ekonomi dan finansiil, iman mereka juga luruh alias bangkrut. Tidak ada lagi “ghirah” dan “furqon” di tengah-tengah kehidupan yang sangat talbis, dan penuh dengan kemusyrikan itu.
Sementara itu, menurut mantan biarawati Irene Handono, perayaan Natal setiap tahun selalu dirayakan dengan hingar bingar, dengan segala kemeriahan dan nuansanya yang serba gemerlap. Kemeriahan ini tidak melulu ditampilkan di rumah-rumah umat Kristen ataupun gereja-gereja saja, tapi seolah seluruh dimensi kehidupan kita tiap menjelang 25 Desember menjadi serba semu. Mengapa semu?
Hal ini disebabkan semaraknya perayaan-perayaan tersebut paling tidak membawa tiga kesan yang bisa kita rasakan bersama. Pertama, perayaan Natal yang jatuh pada tanggal 25 Desember seolah-olah menjadi satu ritus yang berlandaskan nilai kebenaran; kedua, perayaan Natal telah mencapai “maqam” gengsi-simbol status sosial. Sebuah simbol yang membanggakan bagi orang yang merayakannya, atau bagi mereka yang turut “berpartisipasi”.
Sebaliknya bagi mereka yang tidak “menyambut” perayan Natal, mereka ini akan dianggap tidak prestisius; ketiga, seolah-olah mayoritas penduduk negeri ini adalah kaum Nasrani. Padahal secara statistik, jumlah mereka tak lebih dari 15 persen, ungkap Irende Handono.
"Sehingga, secara sadar ataupun tidak, sebenarnya kita telah digulung ke dalam arus pendangkalan aqidah - kalau tidak mau disebut kristenisasi. Hal ini begitu mengancam eksistensi kita sebagai ummat Islam sekaligus sebagai ummat mayoritas di Indonesia, dan sebagai populasi muslim terbesar di dunia," tambah Irene Handono.
Kaum Nasrani atau Kristen, memang telah lama berusaha mengikis aqidah kita, perlahan namun pasti, asalkan mencapai target. Apa target mereka? Menurut Mega Proyek Rencana Kristenisasi Indonesia yang diluncurkan pada 21 Mei 1998 mereka menginginkan realisasi program Kristenisasi Indonesia dalam waktu 25 tahun dengan cara apapun dalam nama “misi mulia sang gembala dalam mendamaikan dunia dalam Kasih Tuhan Jesus Kristus Juru Selamat”.
Siapa targetnya? Mereka menarget generasi muda Islam, terutama siswa dan mahasiswa! Caranya? Cara termudah ialah melalui liberalisasi pola pikir, budaya, agama, dan gaya hidup, dengan merujuk metode “menangkap ayam dengan umpan”.
Firman Allah :
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120)
Mereka menghendaki ummat Islam terliberalkan, sehingga menganggap bahwa perayaan Natal memiliki kesamaan cara pandang dengan penghormatan kepada Nabi Isa as. Akan tetapi, di sinilah akar permasalahan yang dialami ummat Islam khususnya di Indonesia.
Dengan pola-pola yang ajek mereka jalankan setiap tahun, dan memanfaatkan pusat-pusat perbelanjaan, sepeti mall-mall yang menjadi tempat baru bagi Muslim dan Muslimah yang ingin mencari “suasana” kegembiraan itu, perlahan-lahan iman dan aqidah mereka tergerus.
Muslim dan Muslimah tidak memiliki “ghirah” dan “furqon” lagi. Dengan begitu mereka akan menjadi sangat mudah “murtad”. Kalau pun belum “murtad”, mereka sudah tidak lagi memiliki ruh Islam. Wallahu'alam.
Sumber :
VOAIslam
Tapi mulai sekarang di berbagai kota besar, terutama di Jakarta di setiap mall sudah nampak pohon Natal, bahkan para pekerjanya diwajibkan memakai topi “sinterklas”.
Lihat di Mall Margo City, Depok. Di halaman masuk mall itu, pohon Natal berdiri dengan sangat megah. Tingginya hampir lima meter. Belum lagi di kanan-kiri pintu masuknya, juga dipasang pohon Natal dan boneka sinterklas.
Pohon Natal itu dihiasai dengan lampu kerlap-kerlip. Padahal di negara-negara Barat pun, seperti Eropa belum nampak pohon Natal di mall-mall.
Lalu siapa pengunjung mall-mall di Indonesia itu? Muslim dan Muslimah. Muslimah berjilbab masuk ke mall, tanpa tergangggu dan terusik hatinya melihat pohon yang menjadi lambang kemusyrikan.
Mereka berbelanja, makan-makan, dan ngobrol berjam-jam di di dalam mall. Setiap tahun Muslim dan Muslimah hanya menambah “keuntungan” bagi golongan Nasrani. Sementara itu, Muslim dan Muslimah, selain rugi secara ekonomi dan finansiil, iman mereka juga luruh alias bangkrut. Tidak ada lagi “ghirah” dan “furqon” di tengah-tengah kehidupan yang sangat talbis, dan penuh dengan kemusyrikan itu.
Sementara itu, menurut mantan biarawati Irene Handono, perayaan Natal setiap tahun selalu dirayakan dengan hingar bingar, dengan segala kemeriahan dan nuansanya yang serba gemerlap. Kemeriahan ini tidak melulu ditampilkan di rumah-rumah umat Kristen ataupun gereja-gereja saja, tapi seolah seluruh dimensi kehidupan kita tiap menjelang 25 Desember menjadi serba semu. Mengapa semu?
Hal ini disebabkan semaraknya perayaan-perayaan tersebut paling tidak membawa tiga kesan yang bisa kita rasakan bersama. Pertama, perayaan Natal yang jatuh pada tanggal 25 Desember seolah-olah menjadi satu ritus yang berlandaskan nilai kebenaran; kedua, perayaan Natal telah mencapai “maqam” gengsi-simbol status sosial. Sebuah simbol yang membanggakan bagi orang yang merayakannya, atau bagi mereka yang turut “berpartisipasi”.
Sebaliknya bagi mereka yang tidak “menyambut” perayan Natal, mereka ini akan dianggap tidak prestisius; ketiga, seolah-olah mayoritas penduduk negeri ini adalah kaum Nasrani. Padahal secara statistik, jumlah mereka tak lebih dari 15 persen, ungkap Irende Handono.
"Sehingga, secara sadar ataupun tidak, sebenarnya kita telah digulung ke dalam arus pendangkalan aqidah - kalau tidak mau disebut kristenisasi. Hal ini begitu mengancam eksistensi kita sebagai ummat Islam sekaligus sebagai ummat mayoritas di Indonesia, dan sebagai populasi muslim terbesar di dunia," tambah Irene Handono.
Kaum Nasrani atau Kristen, memang telah lama berusaha mengikis aqidah kita, perlahan namun pasti, asalkan mencapai target. Apa target mereka? Menurut Mega Proyek Rencana Kristenisasi Indonesia yang diluncurkan pada 21 Mei 1998 mereka menginginkan realisasi program Kristenisasi Indonesia dalam waktu 25 tahun dengan cara apapun dalam nama “misi mulia sang gembala dalam mendamaikan dunia dalam Kasih Tuhan Jesus Kristus Juru Selamat”.
Siapa targetnya? Mereka menarget generasi muda Islam, terutama siswa dan mahasiswa! Caranya? Cara termudah ialah melalui liberalisasi pola pikir, budaya, agama, dan gaya hidup, dengan merujuk metode “menangkap ayam dengan umpan”.
Firman Allah :
"Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti millah mereka. Katakanlah: "Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)". Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120)
Mereka menghendaki ummat Islam terliberalkan, sehingga menganggap bahwa perayaan Natal memiliki kesamaan cara pandang dengan penghormatan kepada Nabi Isa as. Akan tetapi, di sinilah akar permasalahan yang dialami ummat Islam khususnya di Indonesia.
Dengan pola-pola yang ajek mereka jalankan setiap tahun, dan memanfaatkan pusat-pusat perbelanjaan, sepeti mall-mall yang menjadi tempat baru bagi Muslim dan Muslimah yang ingin mencari “suasana” kegembiraan itu, perlahan-lahan iman dan aqidah mereka tergerus.
Muslim dan Muslimah tidak memiliki “ghirah” dan “furqon” lagi. Dengan begitu mereka akan menjadi sangat mudah “murtad”. Kalau pun belum “murtad”, mereka sudah tidak lagi memiliki ruh Islam. Wallahu'alam.
Sumber :
VOAIslam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar