Terkadang, suatu amalan kebaikan, baik itu dilakukan dengan ikhlas ataupun riya’, jika dilakukan terang-terangan bisa memberi dampak positif bagi orang lain
KALA itu, salah satu gerbang negeri Naisabur dijaga beberapa ulama mujahidin, guna mencegah masuknya musuh ke negeri tersebut. Namun sayang, bantuan materi terlambat sehingga mereka gundah.
Di saat krisis seperti itu, Abu Utsman Al-Hirri yang bertanggung jawab akan hal itu, menerima bantuan dari Abu Amru bin Nujaid, seorang ulama Hadits dan ahli zuhud, sebesar 1000 dinar.
Esok harinya, dengan gembira Abu Utsman mengundang Abu Amru untuk duduk di sebuah majelis yang dihadiri banyak orang. Pada kesempatan itu Abu Utsman mengatakan, ”Wahai saudara-saudaraku, aku mengharap agar Abu Amru memperoleh balasan besar, karena ia telah mewakili beberapa orang dalam ribath (melakukan penjagaan) dan telah memberi bantuan sekian-sekian…”
Begitu Abu Utsman selesai bicara, mendadak Abu Amru berdiri di hadapan hadirin dan menyampaikan, ”Sesungguhnya harta yang saya berikan adalah harta ibu saya dan beliau tidak ridha, maka mestinya harta tersebut dikembalikan kepada saya untuk saya kembalikan kepada beliau.”
Tentu saja hadirin kaget, terlebih Abu Utsman. Ia tak menyangka Abu Amru bicara begitu. Tak ada yang bisa diperbuat Abu Utsman selain memerintahkan untuk mengembalikan kantong berisi harta yang cukup banyak tersebut kepada Abu Amru. Setelah itu hadirin pun bubar.
Namun ketika malam tiba, Abu Amru mendatangi kembali Abu Utsman dan mengatakan, ”Anda bisa memanfaatkan harta ini untuk keperluan seperti kemarin, dan tidak ada yang tahu akan hal ini kecuali kita.”
Setelah menyimak kata-kata Abu Amru, Abu Utsman pun menangis haru melihat upaya Abu Amru untuk menyembunyikan amalan kebaikannya, walau mungkin banyak orang telah kecewa terhadap apa yang ia lakukan sebelumnya.
Demikianlah bagaimana para ulama, meskipun keimanannya lebih baik dibanding manusia pada umumnya, mereka masih berusaha untuk menyembunyikan amalan, agar terhindar dari perbuatan riya’ (pamer).
Memang, bersedekah dengan sembunyi-sembunyi adalah amalan mulia, yang pelakunya dijanjikan pahala besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tujuh pihak yang diberi naungan oleh Allah, dimana pada hari itu tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.”
Dari tujuh pihak tersebut, Rasulullah menyebutkan bahwa siapa saja yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi -ibarat tangan kiri tak mengetahui apa yang dilakukan tangan kanan- maka ia termasuk salah satu di dalamnya. Begitulah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Disamping itu, ikhfa’ al-amal (menyembunyikan amalan) merupakan salah satu cara untuk menutup pintu riya’. Dengan demikian, jika amalan kebaikan tidak ada yang menyaksikannya, maka pikiran yang menginginkan agar ada yang melihatnya dan memujinya akan sirna, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Ihya.
Tingkatan Riya’
Para ulama berpayah-payah agar terhindar diri riya’, dengan menyembunyikan amalan yang mereka lakukan, karena mereka tahu betapa halusnya penyakit riya’ hingga terkadang pelakunya tidak merasakan.
Imam Al-Ghazali menyebutkan, disamping ada jenis riya’ al-jali (riya’ yang jelas), ada juga riya’ al-khafi (riya’ tersembunyi). Contoh riya’ al-jali, seseorang beramal karena dorongan utamanya ingin mendapat pujian dari orang.
Sedangkan riya’ tersembunyi, ia bukan menjadi pendorong utama seseorang untuk melakukan amalan. Hanya saja, dengan adanya riya’ tersembunyi ini semangatnya untuk beramal lebih kuat. Contohnya, ada seseorang melaksanakan shalat Tahajjud dan ibadah itu sendiri sebenarnya berat baginya, namun jika ada tamu yang bermalam di rumahnya, maka ia semakin giat dan semakin ringan melaksanakannya. Itu berarti ia sudah terjebak oleh riya’ tersembunyi. Dan itu tidak boleh.
Sebaiknya Dijauhi Meski Kadang Bermanfaat
Menampakkan amalan dengan riya’, sebaiknya memang dijauhi walau kadang bermanfaat. Al-Ghazali mengisahkan dalam Al-Ihya. Suatu saat di Baghdad banyak umat Islam yang bangun malam dan melaksanakan shalat dengan suara jahr (nyaring), hingga bacaan mereka terdengar di jalanan.
Mereka yang melintasi jalan di waktu sebelum fajar akan mendengar bacaan tersebut, hingga mereka terdorong untuk melakukan hal yang sama (shalat malam). Namun, setelah itu ada seseorang yang menulis kitab yang menjelaskan riya’ al-khafi, hingga bacaan jahr dalam shalat malam berhenti karena mereka takut riya’. Padahal, bacaan itu menginspirasi orang lain untuk melaksanakan shalat malam.
Terkadang, suatu amalan kebaikan, baik itu dilakukan dengan ikhlas ataupun riya’, jika dilakukan terang-terangan bisa memberi dampak positif bagi orang lain, yakni memotivasi untuk berbuat kebaikan dan menampakkan syiar Islam. Hal ini memang tidak bisa dipungkiri. Rasulullah sendiri telah menyatakan bahwa orang pendosa pun bisa memberi dampak positif terhadap dien. Beliau bersabda, ”Sesungguhnya Allah benar-benar menguatkan agama ini dengan pendosa.” (Muttafaq Alaihi)
Namun hal itu, tidaklah sepatutnya dijadikan legitimasi untuk melakukan amalan dengan riya’ atau bermudah-mudah menampakkan amalan, tanpa mempertimbangkan dampak positif-negatifnya, baik bagi pelakunya sendiri maupun orang lain. Tentu, ketika menampakkan amalan dirasa memiliki dampak positif lebih besar, maka pelakunya pun dituntut untuk ikhlas saat melakukannya.
Walau demikian tidak berarti menampakkan amalan dilarang sama sekali. Ada beberapa kondisi dimana dibolehkan untuk menampakkan amalan. Tentu saja dengan syarat, pelakunya bisa mengendalikan diri dari riya’.
Hal ini disinggung dalam al-Qur`an, di mana Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
”Jika kalian menampakkan sedekah maka hal itu baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir maka hal itu lebih baik bagi kalian…” (QS: Al-Baqarah [2]: 271)
Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim juga membedakan antara sedekah sunnah dan wajib seperti zakat, dan amalan wajib seperti shalat lima waktu. Untuk sedekah sunnah, maka lebih utama dirahasiakan karena lebih bisa menjaga dari riya’, sedangkan untuk zakat, dan shalat fardhu (wajib) lebih baik terang-terangan.
Jika dinilai ada manfaat dalam menampakkan amalan guna memberi contoh atau memotivasi orang lain, maka hal ini dibolehkan, dengan syarat pelakunya sendiri terhindar dari riya’. Semisal seseorang melakukan shalat malam dengan bacaan jahr, agar tetangganya bangun dan melakukan hal serupa, atau seseorang yang terang-terangan pergi terlebih dahulu untuk berjihad agar yang lain termotivasi.
Mereka yang tidak aman dari perbuatan riya’, jika melakukan hal ini, bagaikan seseorang yang memutuskan untuk menolong orang yang tenggelam, namun ia sendiri tidak bisa berenang, akhirnya ia juga celaka.
Namun bagi mereka yang mampu melakukannya, maka disamping ia memperoleh pahala atas amalannya sendiri, ia juga memperoleh pahala karena telah memotivasi orang lain melakukan amalan kebaikan. (*Ust. Thoriq).
Sumber :
http://ift.tt/2nYrBp9
KALA itu, salah satu gerbang negeri Naisabur dijaga beberapa ulama mujahidin, guna mencegah masuknya musuh ke negeri tersebut. Namun sayang, bantuan materi terlambat sehingga mereka gundah.
Di saat krisis seperti itu, Abu Utsman Al-Hirri yang bertanggung jawab akan hal itu, menerima bantuan dari Abu Amru bin Nujaid, seorang ulama Hadits dan ahli zuhud, sebesar 1000 dinar.
Esok harinya, dengan gembira Abu Utsman mengundang Abu Amru untuk duduk di sebuah majelis yang dihadiri banyak orang. Pada kesempatan itu Abu Utsman mengatakan, ”Wahai saudara-saudaraku, aku mengharap agar Abu Amru memperoleh balasan besar, karena ia telah mewakili beberapa orang dalam ribath (melakukan penjagaan) dan telah memberi bantuan sekian-sekian…”
Begitu Abu Utsman selesai bicara, mendadak Abu Amru berdiri di hadapan hadirin dan menyampaikan, ”Sesungguhnya harta yang saya berikan adalah harta ibu saya dan beliau tidak ridha, maka mestinya harta tersebut dikembalikan kepada saya untuk saya kembalikan kepada beliau.”
Tentu saja hadirin kaget, terlebih Abu Utsman. Ia tak menyangka Abu Amru bicara begitu. Tak ada yang bisa diperbuat Abu Utsman selain memerintahkan untuk mengembalikan kantong berisi harta yang cukup banyak tersebut kepada Abu Amru. Setelah itu hadirin pun bubar.
Namun ketika malam tiba, Abu Amru mendatangi kembali Abu Utsman dan mengatakan, ”Anda bisa memanfaatkan harta ini untuk keperluan seperti kemarin, dan tidak ada yang tahu akan hal ini kecuali kita.”
Setelah menyimak kata-kata Abu Amru, Abu Utsman pun menangis haru melihat upaya Abu Amru untuk menyembunyikan amalan kebaikannya, walau mungkin banyak orang telah kecewa terhadap apa yang ia lakukan sebelumnya.
Demikianlah bagaimana para ulama, meskipun keimanannya lebih baik dibanding manusia pada umumnya, mereka masih berusaha untuk menyembunyikan amalan, agar terhindar dari perbuatan riya’ (pamer).
Memang, bersedekah dengan sembunyi-sembunyi adalah amalan mulia, yang pelakunya dijanjikan pahala besar. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ”Tujuh pihak yang diberi naungan oleh Allah, dimana pada hari itu tidak ada naungan kecuali naungan-Nya.”
Dari tujuh pihak tersebut, Rasulullah menyebutkan bahwa siapa saja yang bersedekah secara sembunyi-sembunyi -ibarat tangan kiri tak mengetahui apa yang dilakukan tangan kanan- maka ia termasuk salah satu di dalamnya. Begitulah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim.
Disamping itu, ikhfa’ al-amal (menyembunyikan amalan) merupakan salah satu cara untuk menutup pintu riya’. Dengan demikian, jika amalan kebaikan tidak ada yang menyaksikannya, maka pikiran yang menginginkan agar ada yang melihatnya dan memujinya akan sirna, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Ihya.
Tingkatan Riya’
Para ulama berpayah-payah agar terhindar diri riya’, dengan menyembunyikan amalan yang mereka lakukan, karena mereka tahu betapa halusnya penyakit riya’ hingga terkadang pelakunya tidak merasakan.
Imam Al-Ghazali menyebutkan, disamping ada jenis riya’ al-jali (riya’ yang jelas), ada juga riya’ al-khafi (riya’ tersembunyi). Contoh riya’ al-jali, seseorang beramal karena dorongan utamanya ingin mendapat pujian dari orang.
Sedangkan riya’ tersembunyi, ia bukan menjadi pendorong utama seseorang untuk melakukan amalan. Hanya saja, dengan adanya riya’ tersembunyi ini semangatnya untuk beramal lebih kuat. Contohnya, ada seseorang melaksanakan shalat Tahajjud dan ibadah itu sendiri sebenarnya berat baginya, namun jika ada tamu yang bermalam di rumahnya, maka ia semakin giat dan semakin ringan melaksanakannya. Itu berarti ia sudah terjebak oleh riya’ tersembunyi. Dan itu tidak boleh.
Sebaiknya Dijauhi Meski Kadang Bermanfaat
Menampakkan amalan dengan riya’, sebaiknya memang dijauhi walau kadang bermanfaat. Al-Ghazali mengisahkan dalam Al-Ihya. Suatu saat di Baghdad banyak umat Islam yang bangun malam dan melaksanakan shalat dengan suara jahr (nyaring), hingga bacaan mereka terdengar di jalanan.
Mereka yang melintasi jalan di waktu sebelum fajar akan mendengar bacaan tersebut, hingga mereka terdorong untuk melakukan hal yang sama (shalat malam). Namun, setelah itu ada seseorang yang menulis kitab yang menjelaskan riya’ al-khafi, hingga bacaan jahr dalam shalat malam berhenti karena mereka takut riya’. Padahal, bacaan itu menginspirasi orang lain untuk melaksanakan shalat malam.
Terkadang, suatu amalan kebaikan, baik itu dilakukan dengan ikhlas ataupun riya’, jika dilakukan terang-terangan bisa memberi dampak positif bagi orang lain, yakni memotivasi untuk berbuat kebaikan dan menampakkan syiar Islam. Hal ini memang tidak bisa dipungkiri. Rasulullah sendiri telah menyatakan bahwa orang pendosa pun bisa memberi dampak positif terhadap dien. Beliau bersabda, ”Sesungguhnya Allah benar-benar menguatkan agama ini dengan pendosa.” (Muttafaq Alaihi)
Namun hal itu, tidaklah sepatutnya dijadikan legitimasi untuk melakukan amalan dengan riya’ atau bermudah-mudah menampakkan amalan, tanpa mempertimbangkan dampak positif-negatifnya, baik bagi pelakunya sendiri maupun orang lain. Tentu, ketika menampakkan amalan dirasa memiliki dampak positif lebih besar, maka pelakunya pun dituntut untuk ikhlas saat melakukannya.
Walau demikian tidak berarti menampakkan amalan dilarang sama sekali. Ada beberapa kondisi dimana dibolehkan untuk menampakkan amalan. Tentu saja dengan syarat, pelakunya bisa mengendalikan diri dari riya’.
Hal ini disinggung dalam al-Qur`an, di mana Allah Ta’ala berfirman yang artinya,
”Jika kalian menampakkan sedekah maka hal itu baik sekali. Dan jika kalian menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang-orang fakir maka hal itu lebih baik bagi kalian…” (QS: Al-Baqarah [2]: 271)
Imam An-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim juga membedakan antara sedekah sunnah dan wajib seperti zakat, dan amalan wajib seperti shalat lima waktu. Untuk sedekah sunnah, maka lebih utama dirahasiakan karena lebih bisa menjaga dari riya’, sedangkan untuk zakat, dan shalat fardhu (wajib) lebih baik terang-terangan.
Jika dinilai ada manfaat dalam menampakkan amalan guna memberi contoh atau memotivasi orang lain, maka hal ini dibolehkan, dengan syarat pelakunya sendiri terhindar dari riya’. Semisal seseorang melakukan shalat malam dengan bacaan jahr, agar tetangganya bangun dan melakukan hal serupa, atau seseorang yang terang-terangan pergi terlebih dahulu untuk berjihad agar yang lain termotivasi.
Mereka yang tidak aman dari perbuatan riya’, jika melakukan hal ini, bagaikan seseorang yang memutuskan untuk menolong orang yang tenggelam, namun ia sendiri tidak bisa berenang, akhirnya ia juga celaka.
Namun bagi mereka yang mampu melakukannya, maka disamping ia memperoleh pahala atas amalannya sendiri, ia juga memperoleh pahala karena telah memotivasi orang lain melakukan amalan kebaikan. (*Ust. Thoriq).
Sumber :
http://ift.tt/2nYrBp9
Tidak ada komentar:
Posting Komentar