Oleh: Jaya Suprana*
SAYA memang tahu ada nama Pakistan, Afghanistan, Turkistan, Kazhakstan, Kirgistan, Uzbekistan dan lain-lain nama berakhiran “stan”. Namun saya tidak tahu bahwa ternyata ada pula nama Londonistan.
Ternyata Londonistan adalah julukan terbaru bagi sebuah kota yang bernama London . Yang menciptakan julukan Londonistan adalah jurnalis terkemuka, Melanie Phillips, demi melukiskan betapa besar pengaruh Islam terhadap ibukota Inggris di masa kini.
Sejak 2001 sampai dengan 2016, di London telah didirikan 423 mesjid baru sementara sekitar 500 gereja telah ditutup. The Hyatt United Chuch dibeli oleh umat Islam dari Mesir dan diubah menjadi masjid. Sama halnya dengan gereja Santo Peter dirubah menjadi masjid Madina. Masjid Brick Lane semula adalah sebuah gereja Methodist. Bukan hanya bangunan yang berubah sebab pada tahun 2016 jumlah kaum Mualaf di kota Londonistan meningkat dua kali lipat.
The Daily Mail sengaja secara khusus mempublikasikan serial foto fakta Londonistan antara lain dengan foto sebuah masjid dan sebuah gereja bertetangga di pusat kota Londonistan. Atau adegan di dalam gereja San Giorgio yang berkapasitas tampung 1.230 jemaat namun hanya hadir 12 orang pada upacara misa. Hanya 20 orang tampak hadir di dalam katedral Santa Maria.
Masjid di kawasan Brune Street Etatate punya masalah beda akibat daya tampung hanya maksimal 100 orang maka setiap Jumat, umat terpaksa meluber ke jalanan. Walikota London masa kini adalah Muslim.
Ceri Peach dari Universitas Oxford menyatakan homogenitas umat beragama di Inggris masa kini memudar akibat dominasi Kristen memang melenyap. Direktur The National Secular Society, Keith Porteus Wood yakin bahwa di Inggris dalam 20 tahun mendatang jumlah
Muslim akan lebih besar ketimbang jumlah Nasrani.
Menurut riset NatCen Social Research Institute jumlah umat Anglican pada lingkup waktu 2012 sampai dengan 2014 mengalami kemerosotan menjadi sekitar 1,7 juta , sementara jumlah umat Islam di Inggris meningkat menjadi satu juta insan. Demografikal, umat beragama di Manchester 15,8 persen Muslim, Birmingham 15,8 persen bahkan Bradford 24,7 persen.
Wajar apabila para penderita Islamophobia makin dilanda gelisah paranoid bahwa gelombang bencana Islamisasi sedang melanda Inggris. Namun bagi mereka yang mengerti kodrat proses peradaban, sama sekali tidak merasakan apalagi menganggap fenomena Londonistan sebagai suatu mimpi buruk di malam hari.
Gejala Londonistan sekadar ekspresi perubahan peta demografik keagamaan di Inggris di mana kebetulan agama Nasrani sedang mengalami masa pasca kematangan sementara Islam sedang mengalami masa pertumbuhan.
Kemerosotan jumlah umat Kristen bukan akibat pertumbuhan Islam. Ketika masih belajar kemudian mengajar di Jerman pada tahun 70an abad XX di mana umat Islam setempat masih dalam jumlah sangat terbatas, saya pribadi sudah menyaksikan bagaimana jumlah umat Kristen yang rajin ke gereja terus menerus merosot.
Jumlah warga yang secara adminisratif ke luar dari agama Kristen makin banyak akibat keberatan membayar pajak gereja yang secara legal wajib dipotongkan langsung dari salaris bulanan. Terutama generasi muda Jerman pada masa itu sudah mulai menganggap agama Kristen sudah tidak relevan akibat tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Maka dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut sebagai Islamophobia sebenarnya hanya suatu penyakit jenis khayal yang sengaja direkayasa oleh mereka yang merasa kepentingannya terancam akibat tumbuhnya jumlah umat Islam.
Sehingga meski pun pada kenyataan mayoritas pelaku kekerasan terorisme di bumi Amerika Serikat sebenarnya bukan Muslim, namun Donald Trump dan para pendukungnya sengaja membiasakan diri untuk menggunakan istilah teroris Islam radikal.[dm]*Penulis adalah tokoh Tionghoa.
Sumber :
http://ift.tt/2ox3wFS
SAYA memang tahu ada nama Pakistan, Afghanistan, Turkistan, Kazhakstan, Kirgistan, Uzbekistan dan lain-lain nama berakhiran “stan”. Namun saya tidak tahu bahwa ternyata ada pula nama Londonistan.
Ternyata Londonistan adalah julukan terbaru bagi sebuah kota yang bernama London . Yang menciptakan julukan Londonistan adalah jurnalis terkemuka, Melanie Phillips, demi melukiskan betapa besar pengaruh Islam terhadap ibukota Inggris di masa kini.
Sejak 2001 sampai dengan 2016, di London telah didirikan 423 mesjid baru sementara sekitar 500 gereja telah ditutup. The Hyatt United Chuch dibeli oleh umat Islam dari Mesir dan diubah menjadi masjid. Sama halnya dengan gereja Santo Peter dirubah menjadi masjid Madina. Masjid Brick Lane semula adalah sebuah gereja Methodist. Bukan hanya bangunan yang berubah sebab pada tahun 2016 jumlah kaum Mualaf di kota Londonistan meningkat dua kali lipat.
The Daily Mail sengaja secara khusus mempublikasikan serial foto fakta Londonistan antara lain dengan foto sebuah masjid dan sebuah gereja bertetangga di pusat kota Londonistan. Atau adegan di dalam gereja San Giorgio yang berkapasitas tampung 1.230 jemaat namun hanya hadir 12 orang pada upacara misa. Hanya 20 orang tampak hadir di dalam katedral Santa Maria.
Masjid di kawasan Brune Street Etatate punya masalah beda akibat daya tampung hanya maksimal 100 orang maka setiap Jumat, umat terpaksa meluber ke jalanan. Walikota London masa kini adalah Muslim.
Ceri Peach dari Universitas Oxford menyatakan homogenitas umat beragama di Inggris masa kini memudar akibat dominasi Kristen memang melenyap. Direktur The National Secular Society, Keith Porteus Wood yakin bahwa di Inggris dalam 20 tahun mendatang jumlah
Muslim akan lebih besar ketimbang jumlah Nasrani.
Menurut riset NatCen Social Research Institute jumlah umat Anglican pada lingkup waktu 2012 sampai dengan 2014 mengalami kemerosotan menjadi sekitar 1,7 juta , sementara jumlah umat Islam di Inggris meningkat menjadi satu juta insan. Demografikal, umat beragama di Manchester 15,8 persen Muslim, Birmingham 15,8 persen bahkan Bradford 24,7 persen.
Wajar apabila para penderita Islamophobia makin dilanda gelisah paranoid bahwa gelombang bencana Islamisasi sedang melanda Inggris. Namun bagi mereka yang mengerti kodrat proses peradaban, sama sekali tidak merasakan apalagi menganggap fenomena Londonistan sebagai suatu mimpi buruk di malam hari.
Gejala Londonistan sekadar ekspresi perubahan peta demografik keagamaan di Inggris di mana kebetulan agama Nasrani sedang mengalami masa pasca kematangan sementara Islam sedang mengalami masa pertumbuhan.
Kemerosotan jumlah umat Kristen bukan akibat pertumbuhan Islam. Ketika masih belajar kemudian mengajar di Jerman pada tahun 70an abad XX di mana umat Islam setempat masih dalam jumlah sangat terbatas, saya pribadi sudah menyaksikan bagaimana jumlah umat Kristen yang rajin ke gereja terus menerus merosot.
Jumlah warga yang secara adminisratif ke luar dari agama Kristen makin banyak akibat keberatan membayar pajak gereja yang secara legal wajib dipotongkan langsung dari salaris bulanan. Terutama generasi muda Jerman pada masa itu sudah mulai menganggap agama Kristen sudah tidak relevan akibat tidak sesuai dengan perkembangan zaman.
Maka dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut sebagai Islamophobia sebenarnya hanya suatu penyakit jenis khayal yang sengaja direkayasa oleh mereka yang merasa kepentingannya terancam akibat tumbuhnya jumlah umat Islam.
Sehingga meski pun pada kenyataan mayoritas pelaku kekerasan terorisme di bumi Amerika Serikat sebenarnya bukan Muslim, namun Donald Trump dan para pendukungnya sengaja membiasakan diri untuk menggunakan istilah teroris Islam radikal.[dm]*Penulis adalah tokoh Tionghoa.
Sumber :
http://ift.tt/2ox3wFS
Tidak ada komentar:
Posting Komentar