Papua (SI Online) - Bupati Tolikara, Usman Wanimbo mengungkapkan, di wilayah yang dipimpinnya ada peraturan daerah (Perda) yang menyatakan hanya kelompok Gereja Injili di Indonesia (GIDI) yang boleh membangun tempat ibadah di wilayah Kabupaten Tolikara, Papua.
Ia menerangkan bahwa perda tersebut sudah disahkan oleh DPRD sejak 2013 lalu.
"Memang ada Perda yang menyatakan itu, bahwa di sini asal mula terbentuknya GIDI. Sehingga masyarakat berpikir untuk aliran gereja lain tidak bisa membangun tempat ibadah di sini. Hanya itu saja, aliran lain tidak boleh bangun," kata Usman Wanimbo, Selasa (21/07) seperti dikutip Viva.co.id.
Menurutnya, dengan adanya Perda tersebut masyarakat mau tidak mau harus terima. Apalagi, katanya, kelompok GIDI termasuk komunitas gereja yang besar di Tolikara, Papua.
"Jadi apakah ada rancangan khusus atau bagaimana. Musala memang dari dulu ada. Tapi sampai hari ini belum dieksekusi dalam bentuk peraturan Bupati. Masjid juga dilarang dibangun dalam Perda itu," katanya.
Ia juga menyadari bahwa ada tuntutan dari masyarakat yang menginginkan bahwa tidak boleh ada aliran lain yang diperbolehkan masuk ke wilayah tersebut. Perda tersebut juga merupakan hasil rapat usulan gereja GIDI di wilayah Tolikara.
"Kalau pada prinsipnya, Musala boleh ada karena sudah terbakar. Perda itu tidak pernah dicoret, karena sudah disahkan," ujarnya.
Mendagri Minta Perda Dicabut
Meski ada Perda yang intoleran, uniknya Kemterian Dalam Negeri tidak mengetahuinya. Selama ini Mendagri hanya berkoar-koar hendak mencabut Perda-perda yang dikatakan bernuansa Syariah.
Demikian pula dengan lembaga semacam Komnas HAM dan para aktivis HAM yang terus berkicau untuk mencabut Perda Syariah. Mereka diam dan tidak tahu bila di Tolikara ada Perda Kristen yang bertentangan dengan konstitusi negara.
Setelah terjadi kerusuhan, barulah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta Perda tersebut ditinjau kembali. Alasannya pemerintah telah memberi kebebasan untuk beragama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing.
"Coba di DPRD ditinjau kembali. Kalau satu agama saja tidak boleh, apalagi kalau beda. Saya minta untuk dilihat dulu arsipnya, ada tidak perda itu," kata Tjahjo.
Tak hanya itu, Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Dirjen Kesbangpol) Kementerian Dalam Negeri(Kemendagri) Soedarmo juga menerangkan bahwa mekanisme pengesahan Perda tersebut harusnya mendapat persetujuan dari Mendagri. Menurutnya jika belum ada belum adas persetujuan dari Mendagri maka Perda tersebut belum sah.
"Harusnya tidak bisa diberlakukan kalau belum disahkan. Kan harus dipikirkan secara komprehensif," katanya.
Soedarmo menegaskan bahwa di Indonesia tidak menganut kekhususan. Indonesia adalah negara kesatuan, yang artinya membolehkan seluruh pemeluk agama untuk melaksanakan agama sesuai keyakinan masing-masing.
"Kalau ada kondisi eksklusivitas di sini itu bisa menimbulkan resistensi dari agama-agama lain. Jadi mohon pemda dan legislatif bisa kembali membahas perda itu. Karena kan belum disahkan Mendagri juga," katanya.
Sumber :
http://www.suara-islam.com/read/index/14936/Istimewa--di-Tolikara-Ada-Perda-Hanya-Gereja-GIDI-yang-Boleh-Berdiri
Ia menerangkan bahwa perda tersebut sudah disahkan oleh DPRD sejak 2013 lalu.
"Memang ada Perda yang menyatakan itu, bahwa di sini asal mula terbentuknya GIDI. Sehingga masyarakat berpikir untuk aliran gereja lain tidak bisa membangun tempat ibadah di sini. Hanya itu saja, aliran lain tidak boleh bangun," kata Usman Wanimbo, Selasa (21/07) seperti dikutip Viva.co.id.
Menurutnya, dengan adanya Perda tersebut masyarakat mau tidak mau harus terima. Apalagi, katanya, kelompok GIDI termasuk komunitas gereja yang besar di Tolikara, Papua.
"Jadi apakah ada rancangan khusus atau bagaimana. Musala memang dari dulu ada. Tapi sampai hari ini belum dieksekusi dalam bentuk peraturan Bupati. Masjid juga dilarang dibangun dalam Perda itu," katanya.
Ia juga menyadari bahwa ada tuntutan dari masyarakat yang menginginkan bahwa tidak boleh ada aliran lain yang diperbolehkan masuk ke wilayah tersebut. Perda tersebut juga merupakan hasil rapat usulan gereja GIDI di wilayah Tolikara.
"Kalau pada prinsipnya, Musala boleh ada karena sudah terbakar. Perda itu tidak pernah dicoret, karena sudah disahkan," ujarnya.
Mendagri Minta Perda Dicabut
Meski ada Perda yang intoleran, uniknya Kemterian Dalam Negeri tidak mengetahuinya. Selama ini Mendagri hanya berkoar-koar hendak mencabut Perda-perda yang dikatakan bernuansa Syariah.
Demikian pula dengan lembaga semacam Komnas HAM dan para aktivis HAM yang terus berkicau untuk mencabut Perda Syariah. Mereka diam dan tidak tahu bila di Tolikara ada Perda Kristen yang bertentangan dengan konstitusi negara.
Setelah terjadi kerusuhan, barulah Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo meminta Perda tersebut ditinjau kembali. Alasannya pemerintah telah memberi kebebasan untuk beragama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing.
"Coba di DPRD ditinjau kembali. Kalau satu agama saja tidak boleh, apalagi kalau beda. Saya minta untuk dilihat dulu arsipnya, ada tidak perda itu," kata Tjahjo.
Tak hanya itu, Direktur Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Dirjen Kesbangpol) Kementerian Dalam Negeri(Kemendagri) Soedarmo juga menerangkan bahwa mekanisme pengesahan Perda tersebut harusnya mendapat persetujuan dari Mendagri. Menurutnya jika belum ada belum adas persetujuan dari Mendagri maka Perda tersebut belum sah.
"Harusnya tidak bisa diberlakukan kalau belum disahkan. Kan harus dipikirkan secara komprehensif," katanya.
Soedarmo menegaskan bahwa di Indonesia tidak menganut kekhususan. Indonesia adalah negara kesatuan, yang artinya membolehkan seluruh pemeluk agama untuk melaksanakan agama sesuai keyakinan masing-masing.
"Kalau ada kondisi eksklusivitas di sini itu bisa menimbulkan resistensi dari agama-agama lain. Jadi mohon pemda dan legislatif bisa kembali membahas perda itu. Karena kan belum disahkan Mendagri juga," katanya.
Sumber :
http://www.suara-islam.com/read/index/14936/Istimewa--di-Tolikara-Ada-Perda-Hanya-Gereja-GIDI-yang-Boleh-Berdiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar