Rabu, 10 April 2019

::: Al-Quran dan Bibel Bahas Qishas, Jilbab dan Miras :::

Seharusnya menetapkan hukum Qishas dalam suatu wilayah tidak hanya diperuntukkan kepada umat Islam semata, akan tetapi juga kepada pemeluk Nasrani.

Oleh: Adnan

SEBAGAI salah satu dari agama samawi, Nasrani memiliki kitab suci yang berisikan tentang prinsip-prinsip ketuhanan, praktik hukum, perintah dan larangan bagi pemeluknya.

Pemeluk Nasrani menyebutnya Al-Kitab, sementara pemeluk Islam menyebutnya dengan Injil. Walaupun Al-Kitab juga disebut dalam Al-Quran. Di samping itu, Al-Kitab juga sering disebut dengan nama lain Bibel. Al-Kitab atau Bibel berisikan tentang perjanjian lama/Taurat (Old testament) dan perjanjian baru/Injil (New testament).

Tidak dapat dipungkiri sebagai bagian dari agama samawi, Nasrani memiliki rentetan sejarah dengan Islam. Sehingga walaupun berbeda kepercayaan masalah teologis, namun ajaran Isa as (Yesus sebutan umat Nasrani) yang termaktub dalam injil merupakan perintah Allah. Bagi umat Islam, diturunkan Muhammad saw dengan mukjizat Al-Quran adalah sebagai pelengkap dan penutup para Nabi serta penyempurna dari kitab suci sebelumnya, baik itu Injil, Taurat dan Zabur.

Oleh karena itu, beberapa ayat dan pasal dalam Bibel masih murni perintah Allah Subhanahu Wata’ala, walaupun banyak yang telah dirubah. Akan tetapi, tulisan ini ingin mengangkat beberapa praktik hukum yang masih murni wahyu Allah kepada Nabi Isa as/Yesus termaktub dalam Bibel. Sehingga syariat Islam tidak hanya sesuai dengan Al-Quran dan Sunnah semata, akan tetapi juga memiliki kesamaan dengan ajaran Isa as/Yesus kepada pemeluknya.

Dengan demikian, syariat Islam yang berlaku di Aceh seharusnya tidak hanya milik umat Islam, tetapi juga milik umat Nasrani.

Ajaran Bibel

Beberapa praktik hukum yang termaktub dalam Bibel memiliki kemiripan dan kesamaan dengan praktik hukum yang termaktub dalam Al-Quran.

Pertama, terkait hukum Qishas

Qishas merupakan salah satu istilah dalam hukum Islam yang berarti pembalasan, yaitu pembalasan (hukuman) yang diberikan kepada pelaku jinayat atas perbuatan dan pelanggaran yang telah dilakukan. Jinayat merupakan penyerangan manusia, baik penyerangan terhadap jiwa (pembunuhan) dan penyerangan terhadap organ tubuh.

Selain itu, Qishas sering disebut sebagai hukum yang dibalas nyawa dengan nyawa. Dalam kasus pembunuhan, pihak keluarga korban diberikan kewenangan untuk meminta hukuman mati kepada pelaku (pembunuh). Sehingga hukuman kepada pembunuh setimpal dengan orang yang dibunuh.

Hukum qishas sebagai salah satu cara Allah agar manusia saling menjaga kelangsungan hidup (jiwa) antar sesama manusia.

Namun, seakan-akan hukum Qishas hanya milik umat Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Sunnah semata. Padahal, dalam Bibel juga mengajarkan tentang hukum Qishas.

Dalam Bibel Keluaran 21: 23-25 disebutkan:

    “(23) tetapi jika perempuan itu mendapat kecelakaan yang membawa maut, maka engkau harus memberikan nyawa ganti nyawa, (24) mata ganti mata, gigi ganti gigi, tangan ganti tangan, kaki ganti kaki, (25) lecur ganti lecur, luka ganti luka, bengkak ganti bengkak.”

Di samping itu, Allah menegaskan kembali dalam Al-Quran syariat yang termaktub dalam Taurat tersebut, yaitu;

"Dan Kami tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telingan dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka dengan lukapun ada Qishasnya. Barangsiapa yang melepaskan hak Qishas, maka melepaskan itu jadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang telah diturnkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim.” (QS: Al-Maidah: 45).

Oleh karena itu, sumber hukum Qishas telah disyariatkan Allah kepada Musa as yang termaktub dalam Taurat. Lalu syariat tersebut disempurnakan dalam masa kerasulan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wassallam yang termaktub dalam Al-Quran.

Dengan demikian, menetapkan hukum Qishas dalam suatu wilayah tidak hanya diperuntukkan kepada umat Islam semata, akan tetapi juga kepada pemeluk Nasrani yang berkitab sucikan Bibel (Al-Kitab).

Kedua, wajib berjilbab (bertudung) bagi perempuan

Jilbab merupakan salah satu dari identitas perempuan muslimah yang telah disyariatkan Allah Subhanahu Wata’a. Hal tersebut selain termaktub dalam Al-Quran surat An-Nur: 31, juga dalam Al-Ahzab: 59 yaitu;

“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” 


Jilbab dalam Bible

Di samping itu, tentu masih banyak praktik-praktik hukum yang lain dalam Bibel yang senada dengan praktik-praktik hukum yang termaktub dalam Al-Quran

Dengan turunnya syariat berjilbab/bertudung, seakan-akan ia hanya identitas muslimah semata yang bersumber kepada Al-Quran dan Sunnah.

Padahal berjilbab/bertudung juga telah diperintah Allah kepada pemeluk agama Nasrani.

Dalam Bibel Korintus 11: 5-6 dan 13 menyebutkan:

    “(5) tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya, (6) sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya, (13) pertimbangkanlah sendiri: Patutkah perempuan berdoa kepada Allah dengan kepala yang tidak bertudung?

Begitulah ajaran yang tersebut dalam Bibel, mengajarkan kepada pemeluknya untuk bertudung/berjilbab. Tidak berjilbab/bertudung sama seperti orang yang tidak memiliki rambut (botak). Sehingga jika tidak mau bertudung/berjilbab haruslah rambutnya dicukur atau digunting.

Namun apabila mencukur atau menggunting rambut sebuah penghinaan bagi perempuan, maka haruslah perempuan tersebut bertudung/berjilbab. Oleh karena itu, perintah Jilbab yang terbingkai dalam syariat Islam, seharusnya tidak hanya wajib bagi muslimah semata akan tetapi juga harus dilakukan oleh pemeluk Nasrani seperti perintah Bibel.

Ketiga, Haram minuman keras

Meminum minuman keras juga merupakan bagian dari praktik hukum Allah yang tidak hanya dilarang kepada umat Islam semata, akan tetapi juga kepada umat Nasrani. hal tersebut dikarenakan, larangan meminum minuman keras tidak hanya disebutkan dalam Al-Quran, akan tetapi juga dalam Bibel.

Dalam Al-Quran disebutkan;

“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
(QS: Al-Maidah: 90).

Sedangkan dalam Bibel Imamat 10: 9 juga disebutkan:

“Janganlah engkau minum anggur atau minuman keras, engkau serta anak-anakmu, bila kamu masuk ke dalam Kemah Pertemuan, supaya jangan kamu mati. Itulah suatu ketetapan untuk selamanya bagi kamu turun temurun.”
Begitupula dalam Bibel Yesaya 5: 11, disebutkan;

“Celakalah mereka yang bangun pagi-pagi dan terus mencari minuman keras, dan duduk-duduk sampai malam hari, sedang badannya dihangatkan anggur.”

Pemeluk Agama Samawi

Dalam Al-Quran ditegaskan bawah dahulu manusia merupakan umat yang satu, lalu Allah mengutus kepada setiap umat para Nabi untuk menyampaikan kabar gembira dan peringatan, serta menurunkan bersama mereka Kitab yang mengandung kebenaran, untuk memberi perkara terhadap perkara yang diperselisihkan. Akan tetapi karena kedengkian terhadap satu umat dengan umat yang lain, mereka saling menbenci (lihat: QS. Albaqarah: 213).

Di samping itu, tentu masih banyak praktik-praktik hukum yang lain dalam Bibel yang senada dengan praktik-praktik hukum yang termaktub dalam Al-Quran, namun belum tersebut dalam tulisan ini, seperti larangan membuat patung, hukum rajam, perintah berkhitan/sunat dan lain sebagainya.

Dengan demikian, praktik-praktik hukum tersebut apabila diberlakukan pada suatu wilayah, termasuk di Aceh, seharusnya tidak hanya berlaku untuk umat Islam tetapi juga kepada umat Nasrani.

Oleh karena itu, qanun syariat Islam tidak hanya berlaku bagi pemeluk Islam semata, akan tetapi juga kepada seluruh pemeluk agama Samawi (Islam, Yahudi dan Nasrani). Dengan demikian tidak ada tumpang tindih dalam pelaksanaan syariat Islam, khususnya di Aceh sebagai salah satu provinsi di Indonesia yang diperbolehkan melaksanakan syariat Islam.*

Penulis mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Sumber :
http://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2015/10/05/80088/al-quran-dan-bibel-bahas-qishas-jilbab-dan-miras-1.html


Tidak ada komentar:

Posting Komentar