Oleh: Ahmad Sastra
Meski baru beberapa hari dilantik, tapi kabinet Jokowi tak henti-henti bikin gaduh rakyat. Bukannya memperbaiki ekonomi yang kian terpuruk, tapi malah menganggu ajaran Islam dengan narasi radikalisme.
Narasi radikalisme yang ditujukan kepada Islam adalah tuduhan menyakitkan berbau SARA.
Nampaknya rezim telah terjangkit virus islamophobia. Istilah sekuler radikal mungkin tepat untuk menyebut sikap pemerintah kepada Islam.
Tak tanggung-tanggung, ada beberapa menteri yang secara spesifik mendapat tugas menangkal radikalisme, tapi sayangnya istilah ini hanya dituduhkan kepada Islam.
Padahal satu sisi negara ini mengaku sebagai negara demokrasi dan sekuler yang memberikan kebebasan warganya untuk melaksanakan ajaran agamanya, namun mengapa kaum muslimin malah dicurigai. Semisal pemakaian cadar bagi muslimah yang merupakan ajaran Islam malah dipersoalkan.
Jauh sebelumnya , Harian Umum Republika [06/03/18] halaman 4 mengangkat salah satu kasus pelarangan cadar di UIN Sunan Kalijaga [Suka] Jogjakarta dengan judul Mahasiswi Bercadar Terancam Pemecatan. Sesak dada ini rasanya jika institusi Islam justru terjangkiti virus Islamophobia.
Ironis, meski nama UIN itu disingkat Suka tapi justru tidak suka dengan salah satu ajaran Islam, yakni penggunaan cadar bagi mahasiswi di kampus tersebut. Padahal UIN adalah institusi yang selama ini dikenal sebagai kampus pemuja kebebasan dan hak asasi manusia.
Mengenakan cadar bagi seorang muslimah adalah hak asasi manusia dan bagian dari kebebasan pilihan itu sendiri. Jika sebuah kampun yang selama ini mendewakan kebebasan dan HAM justru melarang kebebasan mahasiswanya untuk berbuat baik, maka selain inkonsistensi, paradigma kebebasan yang selama ini digaungkan patut dicurigai.
Meski hukum mengenakan cadar termasuk ikhtilaf di kalangan ulama, ada yang mewajibkan dan ada yang sekedar membolehkan, namun kedua pendapat itu tetap pendapat yang Islami. Dengan demikian mengenakan cadar bagi seorang muslimah adalah bagian dari ajaran Islam. Menolak cadar adalah tindakan menolak salah satu ajaran Islam.
Jangan sampai pemerintah yang wapresnya seorang ulama, justru malah terjangkiti virus islamophobia yang diciptakan Barat.
Barat sejak hampir 2 abad yang lalu telah melakukan gerakan intelektual melalui program misionarisme telah berhasil melakukan infiltrasi epistemologi kepada institusi Islam.
Sejak tahun 1847 dipelopori oleh Nashif al Yazdi, Buthras al Bustomy [nasrani libanon] Willie Smith dan Cornelis Van Dick [amerika] dan kolonel Churchil [Inggris] telah menebarkan sekulerisme barat melalui berbagai pendirian kelompok studi ilmiah [jam’iyyaatu al funuun wa al ‘uluum, al jam’iyyatu al syarqiyah].
Para misionaris juga telah berhasil mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit, infiltrasi epistemologi ke lembaga2 pendidikan Islam, beasiswa, penerbitan, yang menyasar semua kalangan muslim agar mengarahkan pemikiran sesuai paradigma sekuler Barat yang dibawa oleh kaum misionaris.
Nampaknya gerakan misionaris ini telah berhasil mempengaruhi kampus-kampus Islam dengan menghasilkan Islamophobia. Hegemoni wacana yang dikonstruksi Barat sebagai bagian dari proyek ambisius proxy war dengan target monsterisasi terhadap Islam, nampaknya telah membuahkan hasil.
Hegemoni wacana sebagai bagian dari psycoterorism telah melahirkan islamophobia pada masyarakat Barat. Pasca peledakan menara kembar World Trade Centre yang konon dilakukan oleh mereka sendiri telah menghasilkan proyek war on terorism yang dimaknai sebagai perang terhadap Islam.
Efek domino dari islamophobia ini semakin hari semakin menjadi-jadi dan cukup mengkhawatirkan. Islamophobia dilakukan oleh individu maupun negara berupa penistaan, permusuhan, kebencian terhadap Islam dan kaum muslimin. Mulai dari sekedar mencibir saat berpapasan dengan muslim hingga pengusiran, penyiksaan dan pembunuhan.
Mulai dari pelarangan terhadap pakaian muslim hingga tuduhan teroris terhadap muslim. Mulai dari pelecehan terhadap ajaran Islam hingga pembakaran al Qur’an dan masjid-masjid.
Mulai dari tuduhan muslim intoleransi, radikal, terbelakang, hingga kriminalisasi terhadap ulama dan monsterisasi ajaran Islam tentang syariah dan khilafah. Padahal keduanya adalah bagian dari ajaran Islam, sebagaimana ajaran-ajaran lain semisal tentang sholat, zakat dan haji.
Ghozwul Fikr yang dilancarkan kaum misionaris memang bertujuan untuk melakukan pembauran antara muslim dan Barat [pluralisme], menimbulkan keraguan muslim atas kebenaran Islam, menghilangkan kebanggaan atas kesempurnaan Islam serta upaya menyeret muslim agara memuja peradaban Islam.
Menelisik argumen penggunaan cadar adalah tindakan yang mengada-ada, sebab cadar memang termasuk ajaran Islam. Lebih ironis lagi jika muslimah bercadar justru menjadi sasaran kecurigaan atas sikap eksklusivitas.
Padahal menjaga pergaulan antara lelaki dan perempuan adalah ajaran Islam. Istilah eksklusivitas adalah istilah yang tidak islami.
Istilah tidak islami yang kedua adalah istilah transnasional. Istilah ini adalah istilah barat untuk menolak Islam. Padahal Islam memang agama yang rahmatan lil’alamin. Rasulullah sendiri merupakan orang Arab yang diutus untuk menjadi utusan bagi manusia seluruh dunia.
Istilah transnasional adalah istilah Barat untuk menjegal Islam ideologi, makanya dibuat tandingan namanya Islam Nusantara yang sekuleristik dan anti formalisasi syariah. Islam Nusantara adalah implikasi virus aliran sekulerisme yang menyesatkan. Sejak muncul istilah Islam Nusantara, saya sudah menolak keras didasarkan kepada kajian epistemologis. Meskipun istilah Islam Nusantara mulai agak meredup.
Bahkan lebih ironis lagi jika kampus Islam lantas melakukan semacam ancaman pemecatan mahasiswi bercadar jika tidak mengindahkan pembinaan.
Pemecatan atas mahasiswi bercadar adalah tindakan memalukan, bukankah kampus adalah gudangnya intelektualisme, bukan emosionalisme.
Termasuk jika pemerintah mempersoalkan atau bahkan melarang pemakaian cadar bagi muslimah pegawai kantor pemerintahan, maka selain melanggar HAM, pemerintah juga sudah terlalu jauh mengusik ajaran Islam.
Tindakan kampus Islam mempermasalahkan penggunaan cadar bagi mahasiswi hanya akan berujung kepada kegaduhan yang memalukan. Sebab mestinya kaum intelektual muslim yang tinggal di kampus-kampus Islam memberikan pencerahan, bukan malah semakin memburamkan.
Inilah efek dari aliran sekulerisme yang telah merasuki kampus-kampus Islam. Melalui propaganda Islam Nusantara, para pemujanya kini terus melakukan berbagai tindakan memalukan yang mencoba mencampur aduk Islam dengan aliran nasionalisme yang akan mengantarkan kepada sekulerisme dan sinkretisme.
Nalar kaum sekuler atas penolakan cadar hanyalah satu contoh atas penolakan terhadap Islam secara umum. Sekulerisme adalah aliran kedisinikinian yang menolak Islam sebagai sistem kehidupan yang diterapkan oleh negara. Sekulerisme adalah biang kerok kerusakan peradaban manusia. Sebab sekulerisme anti Islam selamanya.
Narasi radikalisme yang dikaitkan dengan penggunaan cadar adalah cara Barat sekuler untuk menyerang Islam itu sendiri. Islam ya Islam, tidak mengenal istilah-istilah radikalisme, sekulerisme, moderatisme, dan pluralisme, ini adalah istilah-istilah sesat dari Barat.
Maka jika pemerintah terus membikin gaduh dan tidak fokus memikirkan kesejahteraan rakyat, selain pemerintah ini akan gagal, maka rakyatpun akan meninggalkan pemerintah. Rakyat dan kaum muslimin akan anti kepada pemerintah. Apa enaknya pemerintah yang dibenci oleh rakyatnya sendiri?
Maka hentikan propaganda radikalisme, jangan mengusik kaum muslimin yang menjalankan perintah Allah, sebab pemerintah akan dihadapkan dengan murka Allah. [fb]
Sumber :
https://www.portal-islam.id/2019/11/menakar-nalar-penolak-cadar.html
Meski baru beberapa hari dilantik, tapi kabinet Jokowi tak henti-henti bikin gaduh rakyat. Bukannya memperbaiki ekonomi yang kian terpuruk, tapi malah menganggu ajaran Islam dengan narasi radikalisme.
Narasi radikalisme yang ditujukan kepada Islam adalah tuduhan menyakitkan berbau SARA.
Nampaknya rezim telah terjangkit virus islamophobia. Istilah sekuler radikal mungkin tepat untuk menyebut sikap pemerintah kepada Islam.
Tak tanggung-tanggung, ada beberapa menteri yang secara spesifik mendapat tugas menangkal radikalisme, tapi sayangnya istilah ini hanya dituduhkan kepada Islam.
Padahal satu sisi negara ini mengaku sebagai negara demokrasi dan sekuler yang memberikan kebebasan warganya untuk melaksanakan ajaran agamanya, namun mengapa kaum muslimin malah dicurigai. Semisal pemakaian cadar bagi muslimah yang merupakan ajaran Islam malah dipersoalkan.
Jauh sebelumnya , Harian Umum Republika [06/03/18] halaman 4 mengangkat salah satu kasus pelarangan cadar di UIN Sunan Kalijaga [Suka] Jogjakarta dengan judul Mahasiswi Bercadar Terancam Pemecatan. Sesak dada ini rasanya jika institusi Islam justru terjangkiti virus Islamophobia.
Ironis, meski nama UIN itu disingkat Suka tapi justru tidak suka dengan salah satu ajaran Islam, yakni penggunaan cadar bagi mahasiswi di kampus tersebut. Padahal UIN adalah institusi yang selama ini dikenal sebagai kampus pemuja kebebasan dan hak asasi manusia.
Mengenakan cadar bagi seorang muslimah adalah hak asasi manusia dan bagian dari kebebasan pilihan itu sendiri. Jika sebuah kampun yang selama ini mendewakan kebebasan dan HAM justru melarang kebebasan mahasiswanya untuk berbuat baik, maka selain inkonsistensi, paradigma kebebasan yang selama ini digaungkan patut dicurigai.
Meski hukum mengenakan cadar termasuk ikhtilaf di kalangan ulama, ada yang mewajibkan dan ada yang sekedar membolehkan, namun kedua pendapat itu tetap pendapat yang Islami. Dengan demikian mengenakan cadar bagi seorang muslimah adalah bagian dari ajaran Islam. Menolak cadar adalah tindakan menolak salah satu ajaran Islam.
Jangan sampai pemerintah yang wapresnya seorang ulama, justru malah terjangkiti virus islamophobia yang diciptakan Barat.
Barat sejak hampir 2 abad yang lalu telah melakukan gerakan intelektual melalui program misionarisme telah berhasil melakukan infiltrasi epistemologi kepada institusi Islam.
Sejak tahun 1847 dipelopori oleh Nashif al Yazdi, Buthras al Bustomy [nasrani libanon] Willie Smith dan Cornelis Van Dick [amerika] dan kolonel Churchil [Inggris] telah menebarkan sekulerisme barat melalui berbagai pendirian kelompok studi ilmiah [jam’iyyaatu al funuun wa al ‘uluum, al jam’iyyatu al syarqiyah].
Para misionaris juga telah berhasil mendirikan sekolah-sekolah, rumah sakit, infiltrasi epistemologi ke lembaga2 pendidikan Islam, beasiswa, penerbitan, yang menyasar semua kalangan muslim agar mengarahkan pemikiran sesuai paradigma sekuler Barat yang dibawa oleh kaum misionaris.
Nampaknya gerakan misionaris ini telah berhasil mempengaruhi kampus-kampus Islam dengan menghasilkan Islamophobia. Hegemoni wacana yang dikonstruksi Barat sebagai bagian dari proyek ambisius proxy war dengan target monsterisasi terhadap Islam, nampaknya telah membuahkan hasil.
Hegemoni wacana sebagai bagian dari psycoterorism telah melahirkan islamophobia pada masyarakat Barat. Pasca peledakan menara kembar World Trade Centre yang konon dilakukan oleh mereka sendiri telah menghasilkan proyek war on terorism yang dimaknai sebagai perang terhadap Islam.
Efek domino dari islamophobia ini semakin hari semakin menjadi-jadi dan cukup mengkhawatirkan. Islamophobia dilakukan oleh individu maupun negara berupa penistaan, permusuhan, kebencian terhadap Islam dan kaum muslimin. Mulai dari sekedar mencibir saat berpapasan dengan muslim hingga pengusiran, penyiksaan dan pembunuhan.
Mulai dari pelarangan terhadap pakaian muslim hingga tuduhan teroris terhadap muslim. Mulai dari pelecehan terhadap ajaran Islam hingga pembakaran al Qur’an dan masjid-masjid.
Mulai dari tuduhan muslim intoleransi, radikal, terbelakang, hingga kriminalisasi terhadap ulama dan monsterisasi ajaran Islam tentang syariah dan khilafah. Padahal keduanya adalah bagian dari ajaran Islam, sebagaimana ajaran-ajaran lain semisal tentang sholat, zakat dan haji.
Ghozwul Fikr yang dilancarkan kaum misionaris memang bertujuan untuk melakukan pembauran antara muslim dan Barat [pluralisme], menimbulkan keraguan muslim atas kebenaran Islam, menghilangkan kebanggaan atas kesempurnaan Islam serta upaya menyeret muslim agara memuja peradaban Islam.
Menelisik argumen penggunaan cadar adalah tindakan yang mengada-ada, sebab cadar memang termasuk ajaran Islam. Lebih ironis lagi jika muslimah bercadar justru menjadi sasaran kecurigaan atas sikap eksklusivitas.
Padahal menjaga pergaulan antara lelaki dan perempuan adalah ajaran Islam. Istilah eksklusivitas adalah istilah yang tidak islami.
Istilah tidak islami yang kedua adalah istilah transnasional. Istilah ini adalah istilah barat untuk menolak Islam. Padahal Islam memang agama yang rahmatan lil’alamin. Rasulullah sendiri merupakan orang Arab yang diutus untuk menjadi utusan bagi manusia seluruh dunia.
Istilah transnasional adalah istilah Barat untuk menjegal Islam ideologi, makanya dibuat tandingan namanya Islam Nusantara yang sekuleristik dan anti formalisasi syariah. Islam Nusantara adalah implikasi virus aliran sekulerisme yang menyesatkan. Sejak muncul istilah Islam Nusantara, saya sudah menolak keras didasarkan kepada kajian epistemologis. Meskipun istilah Islam Nusantara mulai agak meredup.
Bahkan lebih ironis lagi jika kampus Islam lantas melakukan semacam ancaman pemecatan mahasiswi bercadar jika tidak mengindahkan pembinaan.
Pemecatan atas mahasiswi bercadar adalah tindakan memalukan, bukankah kampus adalah gudangnya intelektualisme, bukan emosionalisme.
Termasuk jika pemerintah mempersoalkan atau bahkan melarang pemakaian cadar bagi muslimah pegawai kantor pemerintahan, maka selain melanggar HAM, pemerintah juga sudah terlalu jauh mengusik ajaran Islam.
Tindakan kampus Islam mempermasalahkan penggunaan cadar bagi mahasiswi hanya akan berujung kepada kegaduhan yang memalukan. Sebab mestinya kaum intelektual muslim yang tinggal di kampus-kampus Islam memberikan pencerahan, bukan malah semakin memburamkan.
Inilah efek dari aliran sekulerisme yang telah merasuki kampus-kampus Islam. Melalui propaganda Islam Nusantara, para pemujanya kini terus melakukan berbagai tindakan memalukan yang mencoba mencampur aduk Islam dengan aliran nasionalisme yang akan mengantarkan kepada sekulerisme dan sinkretisme.
Nalar kaum sekuler atas penolakan cadar hanyalah satu contoh atas penolakan terhadap Islam secara umum. Sekulerisme adalah aliran kedisinikinian yang menolak Islam sebagai sistem kehidupan yang diterapkan oleh negara. Sekulerisme adalah biang kerok kerusakan peradaban manusia. Sebab sekulerisme anti Islam selamanya.
Narasi radikalisme yang dikaitkan dengan penggunaan cadar adalah cara Barat sekuler untuk menyerang Islam itu sendiri. Islam ya Islam, tidak mengenal istilah-istilah radikalisme, sekulerisme, moderatisme, dan pluralisme, ini adalah istilah-istilah sesat dari Barat.
Maka jika pemerintah terus membikin gaduh dan tidak fokus memikirkan kesejahteraan rakyat, selain pemerintah ini akan gagal, maka rakyatpun akan meninggalkan pemerintah. Rakyat dan kaum muslimin akan anti kepada pemerintah. Apa enaknya pemerintah yang dibenci oleh rakyatnya sendiri?
Maka hentikan propaganda radikalisme, jangan mengusik kaum muslimin yang menjalankan perintah Allah, sebab pemerintah akan dihadapkan dengan murka Allah. [fb]
Sumber :
https://www.portal-islam.id/2019/11/menakar-nalar-penolak-cadar.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar