Tekad Bulat Jadi Muslim Bermanfaat
Sebenarnya, sudah sejak duduk di bangku SD, saya telah mengenal ajaran Islam. Saya berasal dari Klaten. Seluruh keluarga besar saya menganut ajaran Nasrani.
Namun, karena kondisi finansial kami yang jauh dari kemapanan, orangtua tak sanggup mengirim saya ke sekolah Katolik swasta yang berkelas.
Akhirnya, saya dimasukkan di sebuah SD Negeri. Barangkali inilah yang namanya blessing in disguise alias berkah terselubung. Lantaran duit pas-pasan, saya masuk SD Negeri, dan kenallah saya dengan beberapa ajaran syariat Islam.
Ketika kecil, saya amat pemalu. Introvert, tidak independen, sehingga punya ketergantungan tinggi terhadap teman. Tatkala pelajaran agama berlangsung, guru mempersilakan murid non-muslim untuk keluar kelas. Tapi, gara-gara saya pemalu itulah, saya memutuskan untuk tetap ngendon dalam kelas. Penjelasan guru agama Islam saya simak baik-baik. Aneka surat pendek dalam Al-Qur’an saya hafal. Pun saya tahu bagaimana caranya berwudhu, melakukan sholat, puasa, dan berbagai ibadah ritual lainnya.
Kendati demikian, hal ini tidak secara nyata mengubah diri saya menjadi penganut Islam. Karena memang masih kecil, saya belum berpikir untuk benar-benar memeluk agama yang diridhoi Allah ini. Saya hanya sekedar tahu apa dan bagaimana Islam.
Berikutnya, di bangku SMP. Lagi-lagi saya mengenyam pendidikan di Sekolah Negeri. Kali ini, bisa dibilang pengetahuan saya seputar Islam naik beberapa level. Kenapa? Karena saya duduk sebangku dengan Agus, seorang kawan yang punya pengetahuan agama lumayan dalam. Berbeda dari bocah SMP kebanyakan, Agus ini punya interest tinggi seputar Islam. Saat itu, Agus menjabarkan beragam dalil yang ia baca dari Al-Qur’an dan Hadits. Meski begitu, saya belum ngeh betul, apa sih bedanya antara Al-Qur’an dan Hadits?
Menginjak bangku SMA, daya pikir saya semakin kritis. Terlebih, saya ini tipe orang yang amat-sangat dominan otak kiri. Intinya, saya bisa percaya terhadap sesuatu hal apabila bisa ditelaah dengan akal sehat, dalilnya jelas, serta rasional. Dan, di masa SMA inilah, ketertarikan saya kepada Islam tak dapat dibendung. Saya coba mencari tahu lebih banyak tentang bagaimana hakikat serta filosofi Islam. Hingga saya bertemu dengan Bapak Adi—sebut saja begitu—guru ekstrakurikuler beladiri yang saya ikuti.
Meski guru martial arts, Pak Adi ini orangnya sholih banget. Sebelum mengajarkan sebuah gerakan silat, beliau memberikan preambule alias pengantar yang diambil dari ajaran Islam. Misalnya tentang keinginan untuk mengalahkan lawan ketika bertanding. Beliau ambil dari filosofi Islam, bahwa sesungguhnya yang harus kita lawan bukanlah orang yang ada di hadapan kita. Yang harus kita lawan adalah hawa nafsu kita sendiri. Dan insyaAllah, bila kita sudah memasang niat yang baik, maka latihan silat yang kami jalani akan bernilai ibadah di hadapan Allah.
Sungguh, mendengar cara beliau menjelaskan semua hal, membuat saya kian takjub akan keindahan Islam. Ada solusi besar, kompehensif sekaligus jitu yang ditawarkan agama ini. Islam mengajarkan semua sendi kehidupan. Baik dalam urusan personal maupun taraf interaksi sosial, Islam punya aturan tentang segala hal. Beragam ayat Al-Qur’an dan Hadits Rasul bisa kita jadikan rujukan di semua lini kehidupan. Islam selalu punya penjelasan atas hal apapun yang saya cari. Dan seluruhnya, amat masuk akal!
Saya jadi makin bersemangat dan aktif menekuni ekstrakurikuler ini. Bapak Adi juga kerap sharing dan menjelaskan solusi apa yang ditawarkan Islam dalam menghadapi beraneka ragam problematika hidup. Intinya adalah, Pak Adi menjadi sosok yang begitu berkesan. Pak Adi yang menyemangati saya untuk masuk ke Islam secara kaffah dan menjalani kehidupan dalam pondasi Islam.
Keputusan untuk mantap ber-Islam datang tahun 2001. Saat itu, saya duduk di kelas 2 SMA. Bersama beberapa sahabat, saya melafalkan dua kalimat syahadat.
Bagaimana reaksi keluarga? Lagi-lagi, kalau boleh saya bilang, inilah berkah terselubung berikutnya. Keluarga kami hidup dalam kemiskinan. Sehingga ketika saya masuk Islam-pun, orangtua tak ambil pusing. Mereka tersandera dalam kesibukan bekerja tiada henti. Ayah-ibu saya yang dhuafa, memfokuskan diri dan punya orientasi hidup untuk cari uang, uang dan uang. Ketika pagi, ayah-ibu harus jadi jualan nasi bungkus plus loper Koran. Siang, jaga toko, malam jual roti bakar dan jadi tukang cuci baju di rumah orang. Anak-anaknya terbiasa mandiri dan tak mendapat perhatian ekstra. Ada semacam ketidakpedulian terhadap apa yang saya alami. Saya justru bersyukur atas kondisi ini.
Setelah memeluk Islam, bukan berarti otomatis saya jadi muslim yang baik. Sholat masih bolong-bolong. Apalagi puasa. Kemudian, cobaan beriutnya menghantam hidup saya. Beberapa tahun kemudian, saya cekcok dengan keluarga di rumah. Darah muda saya bergolak. Saya memutuskan hijrah ke Jogja, dan berburu pekerjaan di sana. Modalnya? Hanya selembar ijazah SMA. Bisa diduga, job yang saya dapatkan: kerja serabutan ala buruh. Saya harus menjadi penjaga toko kelontong. Gajinya? 180 ribu per bulan. Hidup saya amat prihatin saat itu. Tiap bulan, saya beli sekardus mie instan. Dalam sehari, saya Cuma berani memasak separuh porsi mie. Separuhnya lagi, saya pakai untuk besok. Begitu terus tiap hari.
Namun, saya tetap bertahan di toko kelontong itu. Hingga suatu saat, toko berubah fungsi jadi warnet. Gaji saya naik sedikit: menjadi 250 ribu per bulan. Kenaikan yang amat minim ini tak juga mendongkrak garis nasib. Saya tetap hidup dalam nuansa keprihatinan. Saat itulah, tercetus di benak: SAYA INGIN JADI ORANG KAYA. Dalam sepenggal sholat Maghrib, saya menangis. Lamaaa sekali. Semua kesalahan di masa lampau terpampang jelas di depan mata saya. Setelah memeluk Islam, saya tak kunjung memperbaiki diri… Saya belum jadi muslim yang kaffah…
Tentu saya berharap, bisa meraih kebahagiaan di dunia dan akherat. Saya ingin menjadi kaya sekaligus mendekat pada Yang Maha Kuasa. Tercetuslah sebuah doa, “Kalau ada cara yang bikin saya kaya, tunjukkan pada saya, ya Allah!”
Alhamdulillah, Allah menjawab semua doa saya. Walaupun “hanya” memegang ijazah SMA, saya beranikan diri melamar sebagai HRD di Pondok Pesantren Daarul Qur’an pimpinan Ustadz Yusuf Mansur. Kompetitor saya saat itu banyak yang berijazah S-1 bahkan S-2.
Skenario Allah begitu indah. Saya diterima bekerja di sana. Karir saya terus menanjak.Di samping itu, saya juga bisa menggali ilmu Islam secara lebih komprehensif. Kini, saya memilih jalan untuk menjadi pengusaha muslim. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain, maka saya all out berbagi inspirasi pada banyak pengusaha muslim melalui komunitas Hulu, Hilir, Halal.
Sebagai muslim, kita memang harus selalu mengakselerasi diri. Ingatlah, bahwa muslim yang beruntung itu yang hari esok lebih baik dari hari ini. Bismillah, kuatkanlah tekad dan perbuatan kita untuk masuk dalam golongan muslim yang beruntung.(dm).
Sumber :
http://ift.tt/2ybGZ2O
Sebenarnya, sudah sejak duduk di bangku SD, saya telah mengenal ajaran Islam. Saya berasal dari Klaten. Seluruh keluarga besar saya menganut ajaran Nasrani.
Namun, karena kondisi finansial kami yang jauh dari kemapanan, orangtua tak sanggup mengirim saya ke sekolah Katolik swasta yang berkelas.
Akhirnya, saya dimasukkan di sebuah SD Negeri. Barangkali inilah yang namanya blessing in disguise alias berkah terselubung. Lantaran duit pas-pasan, saya masuk SD Negeri, dan kenallah saya dengan beberapa ajaran syariat Islam.
Ketika kecil, saya amat pemalu. Introvert, tidak independen, sehingga punya ketergantungan tinggi terhadap teman. Tatkala pelajaran agama berlangsung, guru mempersilakan murid non-muslim untuk keluar kelas. Tapi, gara-gara saya pemalu itulah, saya memutuskan untuk tetap ngendon dalam kelas. Penjelasan guru agama Islam saya simak baik-baik. Aneka surat pendek dalam Al-Qur’an saya hafal. Pun saya tahu bagaimana caranya berwudhu, melakukan sholat, puasa, dan berbagai ibadah ritual lainnya.
Kendati demikian, hal ini tidak secara nyata mengubah diri saya menjadi penganut Islam. Karena memang masih kecil, saya belum berpikir untuk benar-benar memeluk agama yang diridhoi Allah ini. Saya hanya sekedar tahu apa dan bagaimana Islam.
Berikutnya, di bangku SMP. Lagi-lagi saya mengenyam pendidikan di Sekolah Negeri. Kali ini, bisa dibilang pengetahuan saya seputar Islam naik beberapa level. Kenapa? Karena saya duduk sebangku dengan Agus, seorang kawan yang punya pengetahuan agama lumayan dalam. Berbeda dari bocah SMP kebanyakan, Agus ini punya interest tinggi seputar Islam. Saat itu, Agus menjabarkan beragam dalil yang ia baca dari Al-Qur’an dan Hadits. Meski begitu, saya belum ngeh betul, apa sih bedanya antara Al-Qur’an dan Hadits?
Menginjak bangku SMA, daya pikir saya semakin kritis. Terlebih, saya ini tipe orang yang amat-sangat dominan otak kiri. Intinya, saya bisa percaya terhadap sesuatu hal apabila bisa ditelaah dengan akal sehat, dalilnya jelas, serta rasional. Dan, di masa SMA inilah, ketertarikan saya kepada Islam tak dapat dibendung. Saya coba mencari tahu lebih banyak tentang bagaimana hakikat serta filosofi Islam. Hingga saya bertemu dengan Bapak Adi—sebut saja begitu—guru ekstrakurikuler beladiri yang saya ikuti.
Meski guru martial arts, Pak Adi ini orangnya sholih banget. Sebelum mengajarkan sebuah gerakan silat, beliau memberikan preambule alias pengantar yang diambil dari ajaran Islam. Misalnya tentang keinginan untuk mengalahkan lawan ketika bertanding. Beliau ambil dari filosofi Islam, bahwa sesungguhnya yang harus kita lawan bukanlah orang yang ada di hadapan kita. Yang harus kita lawan adalah hawa nafsu kita sendiri. Dan insyaAllah, bila kita sudah memasang niat yang baik, maka latihan silat yang kami jalani akan bernilai ibadah di hadapan Allah.
Sungguh, mendengar cara beliau menjelaskan semua hal, membuat saya kian takjub akan keindahan Islam. Ada solusi besar, kompehensif sekaligus jitu yang ditawarkan agama ini. Islam mengajarkan semua sendi kehidupan. Baik dalam urusan personal maupun taraf interaksi sosial, Islam punya aturan tentang segala hal. Beragam ayat Al-Qur’an dan Hadits Rasul bisa kita jadikan rujukan di semua lini kehidupan. Islam selalu punya penjelasan atas hal apapun yang saya cari. Dan seluruhnya, amat masuk akal!
Saya jadi makin bersemangat dan aktif menekuni ekstrakurikuler ini. Bapak Adi juga kerap sharing dan menjelaskan solusi apa yang ditawarkan Islam dalam menghadapi beraneka ragam problematika hidup. Intinya adalah, Pak Adi menjadi sosok yang begitu berkesan. Pak Adi yang menyemangati saya untuk masuk ke Islam secara kaffah dan menjalani kehidupan dalam pondasi Islam.
Keputusan untuk mantap ber-Islam datang tahun 2001. Saat itu, saya duduk di kelas 2 SMA. Bersama beberapa sahabat, saya melafalkan dua kalimat syahadat.
Bagaimana reaksi keluarga? Lagi-lagi, kalau boleh saya bilang, inilah berkah terselubung berikutnya. Keluarga kami hidup dalam kemiskinan. Sehingga ketika saya masuk Islam-pun, orangtua tak ambil pusing. Mereka tersandera dalam kesibukan bekerja tiada henti. Ayah-ibu saya yang dhuafa, memfokuskan diri dan punya orientasi hidup untuk cari uang, uang dan uang. Ketika pagi, ayah-ibu harus jadi jualan nasi bungkus plus loper Koran. Siang, jaga toko, malam jual roti bakar dan jadi tukang cuci baju di rumah orang. Anak-anaknya terbiasa mandiri dan tak mendapat perhatian ekstra. Ada semacam ketidakpedulian terhadap apa yang saya alami. Saya justru bersyukur atas kondisi ini.
Setelah memeluk Islam, bukan berarti otomatis saya jadi muslim yang baik. Sholat masih bolong-bolong. Apalagi puasa. Kemudian, cobaan beriutnya menghantam hidup saya. Beberapa tahun kemudian, saya cekcok dengan keluarga di rumah. Darah muda saya bergolak. Saya memutuskan hijrah ke Jogja, dan berburu pekerjaan di sana. Modalnya? Hanya selembar ijazah SMA. Bisa diduga, job yang saya dapatkan: kerja serabutan ala buruh. Saya harus menjadi penjaga toko kelontong. Gajinya? 180 ribu per bulan. Hidup saya amat prihatin saat itu. Tiap bulan, saya beli sekardus mie instan. Dalam sehari, saya Cuma berani memasak separuh porsi mie. Separuhnya lagi, saya pakai untuk besok. Begitu terus tiap hari.
Namun, saya tetap bertahan di toko kelontong itu. Hingga suatu saat, toko berubah fungsi jadi warnet. Gaji saya naik sedikit: menjadi 250 ribu per bulan. Kenaikan yang amat minim ini tak juga mendongkrak garis nasib. Saya tetap hidup dalam nuansa keprihatinan. Saat itulah, tercetus di benak: SAYA INGIN JADI ORANG KAYA. Dalam sepenggal sholat Maghrib, saya menangis. Lamaaa sekali. Semua kesalahan di masa lampau terpampang jelas di depan mata saya. Setelah memeluk Islam, saya tak kunjung memperbaiki diri… Saya belum jadi muslim yang kaffah…
Tentu saya berharap, bisa meraih kebahagiaan di dunia dan akherat. Saya ingin menjadi kaya sekaligus mendekat pada Yang Maha Kuasa. Tercetuslah sebuah doa, “Kalau ada cara yang bikin saya kaya, tunjukkan pada saya, ya Allah!”
Alhamdulillah, Allah menjawab semua doa saya. Walaupun “hanya” memegang ijazah SMA, saya beranikan diri melamar sebagai HRD di Pondok Pesantren Daarul Qur’an pimpinan Ustadz Yusuf Mansur. Kompetitor saya saat itu banyak yang berijazah S-1 bahkan S-2.
Skenario Allah begitu indah. Saya diterima bekerja di sana. Karir saya terus menanjak.Di samping itu, saya juga bisa menggali ilmu Islam secara lebih komprehensif. Kini, saya memilih jalan untuk menjadi pengusaha muslim. Karena sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat untuk orang lain, maka saya all out berbagi inspirasi pada banyak pengusaha muslim melalui komunitas Hulu, Hilir, Halal.
Sebagai muslim, kita memang harus selalu mengakselerasi diri. Ingatlah, bahwa muslim yang beruntung itu yang hari esok lebih baik dari hari ini. Bismillah, kuatkanlah tekad dan perbuatan kita untuk masuk dalam golongan muslim yang beruntung.(dm).
Sumber :
http://ift.tt/2ybGZ2O
Tidak ada komentar:
Posting Komentar