Rebut kembali Desa Klepu. Tekad disertai takbir didengungkan kalangan umat Islam di Desa Klepu, Kecamatan Sooko, Kabupaten Ponorogo-Jawa Timur, ketika mengiringi seorang pemuda Muslim pada pertengahan 2011 lalu yang bertekad mencalonkan diri dalam pemilihan kepala desa.
Dipahami terdapat tekad demikian. Karena, desa ini selama lebih 40 tahun para salibis bercokol, leluasa menggerakkan missi Katolik-Kristenisasi di bawah perlindungan kepala desa yang berkuasa. Selama itu, tidak saja didukung segenap perangkat desa; tetapi juga mendapat “pembiaran” dari hampir semua anggota Forum Pimpinan Pemerintahan Kecamatan (Forpimka) Sooko.
Klepu, sebuah desa terpencil terkurung lembah perbukitan ujung lereng barat daya pegunungan Wilis, terhubung perbukitan bagian dari Pegunungan Kidul (Selatan). Kendati terpencil, namun strategis. Berada di perbatasan Kabupaten Ponorogo dengan Kabupaten Trenggalek. Lahan pertanian di kawasan ini rata-rata yang kurang subur. Sumber air juga kecil dan semakin kecil atau bahkan habis, di sepanjang kemarau. Kondisi sebagian besar warga, miskin.
Menuju desa ini, harus menempuh perjalanan sulit. Jalanan terjal, selebar sekitar empat meter. Dapat ditempuh, hanya dari arah ibu kota kecamatan Sooko sejauh tiga kilometer. Dasawarsa 1960-an, desa ini termasuk wilayah yang sering mengalami kondisi kritis dalam ketersediaan pangan. Kondisi demikian, menjadi lahan strategis gerak Kristenisasi.
Bahkan dari keterangan yang terhimpun mengungkap; kondisi desa Klepu juga desa-desa lain di sekitarnya awal dasawarsa 1960-an itu, masih diperparah karena kehadiran Komunis, yang berhasil menebar pengaruh, janji, bahkan ancaman. Sebagian besar warga terjebak dan terjerat; ikut di belakang barisan Komunis, ikut berperilaku atheis.
Mulutnya selalu mencibir dan melontarkan hinaan, ejekan dan cemooh terhadap orang beragama---terutama Islam.
Warga sebenarnya sadar. Kendati berada di dalam barisan Komunis, tingkat kesejahteraan tidak ada perbaikan. Rakyat tetap miskin. Disamping takut juga terlanjur termakan janji-janji Komunis yang menggiurkan. Diantaranya janji pembagian tanah (land-reform) yang demikian membius. Komunis, ketika itu tampak perkasa. Karenanya dipercaya tidak ingkar janji lakukan perbaikan tingkat kesejahteraan rakyat.
Di sisi lain, Komunis tampil beringas, penuh gertak, membuat rakyat keder dan ketakutan. Berperilaku represif, terhadap warga masyarakat yang menunjukkan gelagat tidak mudah menaruh kepercayaan kepada Komunis, dan kukuh berpegang ada ideologi dan agamanya.
Kondisi berbalik dengan cepat. Di akhir 1965 memasukki awal 1966, warga yang semula berperilaku atheis, mulutnya selalu mencibir dan melontarkan hinaan, ejekan dan cemooh terhadap orang beragama--- terutama Islam, kini datang berbondong-bondong meminta tempat dan kesempatan agar dapat “berlindung”, dengan menyatakan diri sebagai Muslim. Mereka, memenuhi shaf-shaf jamaah shalat wajib, di masjid dan surau. Apalagi di saat Ramadhan. Jamaah shalat tarawih, di masjid dan surau yang demikian penuh.. Demikian meriah pula di saat Idul Fitri; shalat id di masjid dan lapangan meluber.
Suasana masjid dan surau di Desa Klepu saat itu, tidak berbeda dengan yang terjadi di segenap pelosok negeri ini. Pun juga sama, ternyata tidak berlangsung lama. Setelah prahara yang terjadi di negeri di seputar akhir tahun 1965 itu, reda dan mulai kembali dapat tenang, hati mereka agaknya juga kembali tenang. Segera surut----menarik diri, dari “perlindungan” masjid dan surau. Namun mereka, tetaplah “tiarap” tidak lagi berani menunjukkan perangai aslinya; bengis dan atheis. Mereka sudah merasa aman tidak perlu lagi berlindung di masjid dan surau dan mengaku sebagai Muslim.
5 KK Katolik Cikal Bakal
Sementara itu, Suara Islam menemukan catatan lama dari Dinas Pariwisata Kabupaten Ponorogo, mengungkap pada tahun 1947 di Kota Ponorogo baru terdapat dua Kepala Keluarga (KK) Katolik---terdiri kakak dan beradik asal Sukoharjo Jawa Tengah. Cukup lambat berkembang. Lima tahun hingga 1952, baru terdapat lima KK Katolik. Tiga keluarga tambahan, juga bukan asli warga Ponorogo, melainkan pindahan dari daerah lain.
Gereja St Cornelius (Gereja Besar---Katolik) di Kota Madiun, memperhatikan perkembangan di Ponorogo yang demikian lambat. Karenanya, mulai tahun 1951 dikirim Misionaris Conggresi Missi Katolik ke Ponorogo. Hingga tahun 1955, pada umumnya Misionaris yang diterjunkan berkebangsaan Italia. Mereka di Kota Ponorogo, berhasil membuka sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) Kemudian dengan dalih menampung lulusan TK pada jenjang pendidikan selanjutnya, dibuka Sekolah Rakyat (SR--berubah menjadi Sekolah Dasar Katolik/SDK). Berdalih sama, kemudian dibuka SMP Katolik, hingga SMA / SMK Katolik. Kecuali sekolah, dibuka pula Balai Pengobatan (BP) yang setahun berikutnya sudah berkembang menjadi Rumah Bersalin (RB).
Misionaris Conggresi Missi Katolik awal dasawarsa 1960-an, juga bergerak ke selatan Kabupaten Ponorogo. Menyusul ketika itu dua wilayah Kecamatan ---Slahung dan Ngrayun, sedang terjangkit wabah Hongeroedeem (HO) yang dikenal sebagai busung lapar dan biri-biri.
Selama tiga tahun dari tahun 1962-1965, dua wilayah kecamatan tersebut digerojok bantuan pangan berupa; beras, jagung, bulguur, susu, minyak goreng dan obat-obatan. Setahun berikutnya, di dua wilayah Kecamatan di selatan Ponorogo ini, telah berdiri gereja katolik.
Gerojokan bantuan bahan pangan juga di arahkan ke timur Ponorogo. Desa Klepu yang paling miskin ini, dijadikan pusat gerak. Gerak cepatnya saat itu, agaknya memang memanfaatkan kondisi hancurnya Komunis dan pengikutnya terbirit-birit ketakutan, terombang-ambing dan sekadar mencari selamat berlindung dalam Islam. Muncul seruan missionaris, dan gerojokan bantuan bahan pangan itu, mereka dengan mudahnya melompat meninggalkan Islam.
Selama dua tahun, (1967 – 1969), seorang Misionaris Conggresi Missi Katolik berkebangsaan Italia membuka pos (satsi) di desa Klepu, menerima berbondong-bondong warga menyatakan keimanan dan rela dimandikan. Mereka dibabtis menjadi Katolik. Bahkan, dalam tahun 1970 Kepala Desa Klepu, Soemakoen, memberikan sebidang tanah untuk mendirikan Gereja Katolik Roma, yang kemudian diberi nama Gereja Sakramen Maha Kudus.
Di sebuah tebing pada sebuah ketinggian perbukitan masih di desa Klepu, dibangun pula Goa Maria Fatima Sendang Waluyojatiningsih. Berdiri sebuah patung menggambarkan Maria warna putih pada sebuah ketinggian di atas sendang (kolam bermata-air). Tempat ini, untuk melakukan simbolisasi perziarahan.
Setelah itu, gerak Katolik yang terang-terangan didukung Kepala Desa ini, semakin agresif menebar pengaruh dan missi. Cikal bakal Katolik di desa ini, cepat tumbuh berkembang. Bahkan, dalam dua kali jabatan Kepala Desa penerus Soemakoen-----Kuswandi dan Agung, juga dari kalangan katolik--- menjadikan gerak missi katolik semakin menjadi-jadi, termasuk memuluskan pembangunan rumah kepasturan di atas lahan yang berimpit dengan Balai Desa.
Desa Klepu dengan jumlah penduduk 2.896 jiwa dalam 800 Kepala Keluarga (KK). Sejumlah 1,054 jiwa memeluk Katolik. Dua orang Kristen Protestan dan sejumlah 1.835 jiwa warga lainnya, tidak hanyut dalam arus dan tetap kokoh memeluk Islam.
“Hampir setiap tahun, ada warga beragama katolik yang kembali masuk Islam. Seperti selama tahun 2014 lalu, terdapat dua orang masuk Islam,” ungkap Sutrisno, seorang da’i dari BDI yang bertugas di Klepu.
Dalam kurun waktu lebih 40 tahun, Katolik menebar pengaruh dan berlindung dalam kekuasaan kepala desa dan segenap perangkat desa, (kecuali Modin---kini Kepala Urusan Kesra) yang dibiarkan tidak masuk Katolik. Seorang modin masih sangat diperlukan. Sebagian besar warga dan perangkat desa yang telah Katolik, ketika wafat, keluarga-nya meminta agar pemulasan jenazah hingga pemakaman, dilakukan secara Islam.
“Terasa ironis. Warga berbondong pindah agama, karena perutnya lapar. Tapi ketika ajal menjemput, mereka tetap minta dikafani. Ketika dikubur minta Modin azan, iqamah dan membaca talqin di pemakaman,” kisah Drs. H. Muhammad Mansyur, salah seorang Pimpinan Muhamadiyah yang pernah menjadi ketua perwakilan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kabupaten Ponorogo
Seperti dikabarkan Suara Islam Online (Rabu 27 Juli 2011), bagi umat Islam setempat dan Kabupaten Ponorogo umumnya, Desa Klepu menjadi salah satu garis depan dalam menghadang gempuran kristenisasi. Upaya merebut, setelah dikuasai Kepala Desa dari kaum salibis, merupakan sebuah perjuangan layaknya tiada henti.
Tekad “merebut kembali” semakin membahana, setelah Partomo, seorang pemuda Muslim mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Desa (Sabtu, 22 Desember 2012). Ketika itu, kalangan Katolik terpecah; mengajukan tiga orang calon Kepala Desa.
Merupakan kesempatan mengambil alih kedudukan Kepala Desa yang sudah lebih 40 tahun selalu dari kalangan Katolik. Partomo dengan mutlak memenangkan pemilihan Kepala Desa, memperoleh dukungan 748 suara. Pesaingnya dekatnya dari kalangan Katolik, Andreas Gimin (571 suara). Sedang pesaing lainnya yang juga dari kalangan Katolik, Ignatius Suprapto (107 suara) dan Albertus Sugeng Cahyono (34 suara).
Setelah terpilih dan dilantik (Senin, 28 Januarai 2013) sebagai Kepala Desa periode 2013 – 2019, Partomo bergerak cepat. Selasa ( 30 April 2013 ), diikuti 50 orang pengurus takmir masjid-masjid dan surau yang ada di Klepu, bertemu MUI Kab. Ponorogo, membuat program bersama untuk kebangkitan Islam, kesejahteraan rakyat dan ketentraman warga.
Rapat itu dipimpin Sekretaris MUI Kabupaten Ponorogo, Dr. A. Munir. Hadir pada kesempatan itu Ketua Dewan Dakwan Islamiyah Indonesia (DDII) Kab. Ponorogo, Drs. H. Haryanto, MA; Sekretaris Syuriah NU Ponorogo, KH. Muhatim; serta Drs. H. Muhammad Mansyur dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah Ponorogo.
Program yang tersusun antara lain; memasyarakatkan Alquran kepada kaum Muslimin Desa Klepu, terutama kepada para Mu’allaf melalui peningkatan pendidikan Alquran untuk anak-anak dan orang tua di Mushala dan Masjid (yang sudah ada di sepuluh lokasi) serta membuka pendidikan Alquran di Mushola dan Masjid yang belum menyelenggarakan. Dalam peningkatan pendidikan Alquran ini diikuti dengan pemberdayaan ustadz dan ustadzah se wilayah Kecamatan Sooko.
Program yang lain; membentuk persatuan takmir untuk koordinasi, meningkatkan dan memperkokoh tali silaturahmi; serta memotori terselenggaranya tabligh-tabligh rutin maupun akbar. Menyantuni para dhuafa, para jompo, janda, anak yatim, yatim piatu, dan anak-anak keluarga miskin lainnya; agar dapat sekolah secara wajar. Mendirikan Koperasi yang menyalurkan sembilan bahan kebutuhan pokok serta menyalurkan bibit-bibit tanaman buah; seperti Durian, Jeruk, klengkeng serta yang lain. Kelak setelah tanaman ini berbuah; Koperasi ini pula yang mengupayakan pemasarannya.
“Program-program itu, sebagian dapat berjalan. Namun sebagian lain yang memang perlu kapital besar, masih seperti berjalan di tempat,” ungkap Drs. H. M. Mansyur, dengan menambah, terakhir persatuan takmir Desa Klepu berhasil menggelar tabligh akbar Minggu (14 Desember) lalu, menghadirkan mubaligh Ir. H. Bangun Samudra, seorang bekas Pastur dari Kota Surabaya.
(Rep : Muhammad Halwan).
Sumber :
http://www.suara-islam.com/read/index/13089/Klepu--Desa-Terpencil-di-Ponorogo-40-Tahun-Lebih-di-Kuasai-Salibis
Dipahami terdapat tekad demikian. Karena, desa ini selama lebih 40 tahun para salibis bercokol, leluasa menggerakkan missi Katolik-Kristenisasi di bawah perlindungan kepala desa yang berkuasa. Selama itu, tidak saja didukung segenap perangkat desa; tetapi juga mendapat “pembiaran” dari hampir semua anggota Forum Pimpinan Pemerintahan Kecamatan (Forpimka) Sooko.
Klepu, sebuah desa terpencil terkurung lembah perbukitan ujung lereng barat daya pegunungan Wilis, terhubung perbukitan bagian dari Pegunungan Kidul (Selatan). Kendati terpencil, namun strategis. Berada di perbatasan Kabupaten Ponorogo dengan Kabupaten Trenggalek. Lahan pertanian di kawasan ini rata-rata yang kurang subur. Sumber air juga kecil dan semakin kecil atau bahkan habis, di sepanjang kemarau. Kondisi sebagian besar warga, miskin.
Menuju desa ini, harus menempuh perjalanan sulit. Jalanan terjal, selebar sekitar empat meter. Dapat ditempuh, hanya dari arah ibu kota kecamatan Sooko sejauh tiga kilometer. Dasawarsa 1960-an, desa ini termasuk wilayah yang sering mengalami kondisi kritis dalam ketersediaan pangan. Kondisi demikian, menjadi lahan strategis gerak Kristenisasi.
Bahkan dari keterangan yang terhimpun mengungkap; kondisi desa Klepu juga desa-desa lain di sekitarnya awal dasawarsa 1960-an itu, masih diperparah karena kehadiran Komunis, yang berhasil menebar pengaruh, janji, bahkan ancaman. Sebagian besar warga terjebak dan terjerat; ikut di belakang barisan Komunis, ikut berperilaku atheis.
Mulutnya selalu mencibir dan melontarkan hinaan, ejekan dan cemooh terhadap orang beragama---terutama Islam.
Warga sebenarnya sadar. Kendati berada di dalam barisan Komunis, tingkat kesejahteraan tidak ada perbaikan. Rakyat tetap miskin. Disamping takut juga terlanjur termakan janji-janji Komunis yang menggiurkan. Diantaranya janji pembagian tanah (land-reform) yang demikian membius. Komunis, ketika itu tampak perkasa. Karenanya dipercaya tidak ingkar janji lakukan perbaikan tingkat kesejahteraan rakyat.
Di sisi lain, Komunis tampil beringas, penuh gertak, membuat rakyat keder dan ketakutan. Berperilaku represif, terhadap warga masyarakat yang menunjukkan gelagat tidak mudah menaruh kepercayaan kepada Komunis, dan kukuh berpegang ada ideologi dan agamanya.
Kondisi berbalik dengan cepat. Di akhir 1965 memasukki awal 1966, warga yang semula berperilaku atheis, mulutnya selalu mencibir dan melontarkan hinaan, ejekan dan cemooh terhadap orang beragama--- terutama Islam, kini datang berbondong-bondong meminta tempat dan kesempatan agar dapat “berlindung”, dengan menyatakan diri sebagai Muslim. Mereka, memenuhi shaf-shaf jamaah shalat wajib, di masjid dan surau. Apalagi di saat Ramadhan. Jamaah shalat tarawih, di masjid dan surau yang demikian penuh.. Demikian meriah pula di saat Idul Fitri; shalat id di masjid dan lapangan meluber.
Suasana masjid dan surau di Desa Klepu saat itu, tidak berbeda dengan yang terjadi di segenap pelosok negeri ini. Pun juga sama, ternyata tidak berlangsung lama. Setelah prahara yang terjadi di negeri di seputar akhir tahun 1965 itu, reda dan mulai kembali dapat tenang, hati mereka agaknya juga kembali tenang. Segera surut----menarik diri, dari “perlindungan” masjid dan surau. Namun mereka, tetaplah “tiarap” tidak lagi berani menunjukkan perangai aslinya; bengis dan atheis. Mereka sudah merasa aman tidak perlu lagi berlindung di masjid dan surau dan mengaku sebagai Muslim.
5 KK Katolik Cikal Bakal
Sementara itu, Suara Islam menemukan catatan lama dari Dinas Pariwisata Kabupaten Ponorogo, mengungkap pada tahun 1947 di Kota Ponorogo baru terdapat dua Kepala Keluarga (KK) Katolik---terdiri kakak dan beradik asal Sukoharjo Jawa Tengah. Cukup lambat berkembang. Lima tahun hingga 1952, baru terdapat lima KK Katolik. Tiga keluarga tambahan, juga bukan asli warga Ponorogo, melainkan pindahan dari daerah lain.
Gereja St Cornelius (Gereja Besar---Katolik) di Kota Madiun, memperhatikan perkembangan di Ponorogo yang demikian lambat. Karenanya, mulai tahun 1951 dikirim Misionaris Conggresi Missi Katolik ke Ponorogo. Hingga tahun 1955, pada umumnya Misionaris yang diterjunkan berkebangsaan Italia. Mereka di Kota Ponorogo, berhasil membuka sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) Kemudian dengan dalih menampung lulusan TK pada jenjang pendidikan selanjutnya, dibuka Sekolah Rakyat (SR--berubah menjadi Sekolah Dasar Katolik/SDK). Berdalih sama, kemudian dibuka SMP Katolik, hingga SMA / SMK Katolik. Kecuali sekolah, dibuka pula Balai Pengobatan (BP) yang setahun berikutnya sudah berkembang menjadi Rumah Bersalin (RB).
Misionaris Conggresi Missi Katolik awal dasawarsa 1960-an, juga bergerak ke selatan Kabupaten Ponorogo. Menyusul ketika itu dua wilayah Kecamatan ---Slahung dan Ngrayun, sedang terjangkit wabah Hongeroedeem (HO) yang dikenal sebagai busung lapar dan biri-biri.
Selama tiga tahun dari tahun 1962-1965, dua wilayah kecamatan tersebut digerojok bantuan pangan berupa; beras, jagung, bulguur, susu, minyak goreng dan obat-obatan. Setahun berikutnya, di dua wilayah Kecamatan di selatan Ponorogo ini, telah berdiri gereja katolik.
Gerojokan bantuan bahan pangan juga di arahkan ke timur Ponorogo. Desa Klepu yang paling miskin ini, dijadikan pusat gerak. Gerak cepatnya saat itu, agaknya memang memanfaatkan kondisi hancurnya Komunis dan pengikutnya terbirit-birit ketakutan, terombang-ambing dan sekadar mencari selamat berlindung dalam Islam. Muncul seruan missionaris, dan gerojokan bantuan bahan pangan itu, mereka dengan mudahnya melompat meninggalkan Islam.
Selama dua tahun, (1967 – 1969), seorang Misionaris Conggresi Missi Katolik berkebangsaan Italia membuka pos (satsi) di desa Klepu, menerima berbondong-bondong warga menyatakan keimanan dan rela dimandikan. Mereka dibabtis menjadi Katolik. Bahkan, dalam tahun 1970 Kepala Desa Klepu, Soemakoen, memberikan sebidang tanah untuk mendirikan Gereja Katolik Roma, yang kemudian diberi nama Gereja Sakramen Maha Kudus.
Di sebuah tebing pada sebuah ketinggian perbukitan masih di desa Klepu, dibangun pula Goa Maria Fatima Sendang Waluyojatiningsih. Berdiri sebuah patung menggambarkan Maria warna putih pada sebuah ketinggian di atas sendang (kolam bermata-air). Tempat ini, untuk melakukan simbolisasi perziarahan.
Setelah itu, gerak Katolik yang terang-terangan didukung Kepala Desa ini, semakin agresif menebar pengaruh dan missi. Cikal bakal Katolik di desa ini, cepat tumbuh berkembang. Bahkan, dalam dua kali jabatan Kepala Desa penerus Soemakoen-----Kuswandi dan Agung, juga dari kalangan katolik--- menjadikan gerak missi katolik semakin menjadi-jadi, termasuk memuluskan pembangunan rumah kepasturan di atas lahan yang berimpit dengan Balai Desa.
Desa Klepu dengan jumlah penduduk 2.896 jiwa dalam 800 Kepala Keluarga (KK). Sejumlah 1,054 jiwa memeluk Katolik. Dua orang Kristen Protestan dan sejumlah 1.835 jiwa warga lainnya, tidak hanyut dalam arus dan tetap kokoh memeluk Islam.
“Hampir setiap tahun, ada warga beragama katolik yang kembali masuk Islam. Seperti selama tahun 2014 lalu, terdapat dua orang masuk Islam,” ungkap Sutrisno, seorang da’i dari BDI yang bertugas di Klepu.
Dalam kurun waktu lebih 40 tahun, Katolik menebar pengaruh dan berlindung dalam kekuasaan kepala desa dan segenap perangkat desa, (kecuali Modin---kini Kepala Urusan Kesra) yang dibiarkan tidak masuk Katolik. Seorang modin masih sangat diperlukan. Sebagian besar warga dan perangkat desa yang telah Katolik, ketika wafat, keluarga-nya meminta agar pemulasan jenazah hingga pemakaman, dilakukan secara Islam.
“Terasa ironis. Warga berbondong pindah agama, karena perutnya lapar. Tapi ketika ajal menjemput, mereka tetap minta dikafani. Ketika dikubur minta Modin azan, iqamah dan membaca talqin di pemakaman,” kisah Drs. H. Muhammad Mansyur, salah seorang Pimpinan Muhamadiyah yang pernah menjadi ketua perwakilan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Kabupaten Ponorogo
Seperti dikabarkan Suara Islam Online (Rabu 27 Juli 2011), bagi umat Islam setempat dan Kabupaten Ponorogo umumnya, Desa Klepu menjadi salah satu garis depan dalam menghadang gempuran kristenisasi. Upaya merebut, setelah dikuasai Kepala Desa dari kaum salibis, merupakan sebuah perjuangan layaknya tiada henti.
Tekad “merebut kembali” semakin membahana, setelah Partomo, seorang pemuda Muslim mencalonkan diri dalam Pemilihan Kepala Desa (Sabtu, 22 Desember 2012). Ketika itu, kalangan Katolik terpecah; mengajukan tiga orang calon Kepala Desa.
Merupakan kesempatan mengambil alih kedudukan Kepala Desa yang sudah lebih 40 tahun selalu dari kalangan Katolik. Partomo dengan mutlak memenangkan pemilihan Kepala Desa, memperoleh dukungan 748 suara. Pesaingnya dekatnya dari kalangan Katolik, Andreas Gimin (571 suara). Sedang pesaing lainnya yang juga dari kalangan Katolik, Ignatius Suprapto (107 suara) dan Albertus Sugeng Cahyono (34 suara).
Setelah terpilih dan dilantik (Senin, 28 Januarai 2013) sebagai Kepala Desa periode 2013 – 2019, Partomo bergerak cepat. Selasa ( 30 April 2013 ), diikuti 50 orang pengurus takmir masjid-masjid dan surau yang ada di Klepu, bertemu MUI Kab. Ponorogo, membuat program bersama untuk kebangkitan Islam, kesejahteraan rakyat dan ketentraman warga.
Rapat itu dipimpin Sekretaris MUI Kabupaten Ponorogo, Dr. A. Munir. Hadir pada kesempatan itu Ketua Dewan Dakwan Islamiyah Indonesia (DDII) Kab. Ponorogo, Drs. H. Haryanto, MA; Sekretaris Syuriah NU Ponorogo, KH. Muhatim; serta Drs. H. Muhammad Mansyur dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah Ponorogo.
Program yang tersusun antara lain; memasyarakatkan Alquran kepada kaum Muslimin Desa Klepu, terutama kepada para Mu’allaf melalui peningkatan pendidikan Alquran untuk anak-anak dan orang tua di Mushala dan Masjid (yang sudah ada di sepuluh lokasi) serta membuka pendidikan Alquran di Mushola dan Masjid yang belum menyelenggarakan. Dalam peningkatan pendidikan Alquran ini diikuti dengan pemberdayaan ustadz dan ustadzah se wilayah Kecamatan Sooko.
Program yang lain; membentuk persatuan takmir untuk koordinasi, meningkatkan dan memperkokoh tali silaturahmi; serta memotori terselenggaranya tabligh-tabligh rutin maupun akbar. Menyantuni para dhuafa, para jompo, janda, anak yatim, yatim piatu, dan anak-anak keluarga miskin lainnya; agar dapat sekolah secara wajar. Mendirikan Koperasi yang menyalurkan sembilan bahan kebutuhan pokok serta menyalurkan bibit-bibit tanaman buah; seperti Durian, Jeruk, klengkeng serta yang lain. Kelak setelah tanaman ini berbuah; Koperasi ini pula yang mengupayakan pemasarannya.
“Program-program itu, sebagian dapat berjalan. Namun sebagian lain yang memang perlu kapital besar, masih seperti berjalan di tempat,” ungkap Drs. H. M. Mansyur, dengan menambah, terakhir persatuan takmir Desa Klepu berhasil menggelar tabligh akbar Minggu (14 Desember) lalu, menghadirkan mubaligh Ir. H. Bangun Samudra, seorang bekas Pastur dari Kota Surabaya.
(Rep : Muhammad Halwan).
Sumber :
http://www.suara-islam.com/read/index/13089/Klepu--Desa-Terpencil-di-Ponorogo-40-Tahun-Lebih-di-Kuasai-Salibis
Tidak ada komentar:
Posting Komentar